Langit masih berwarna violet saat lonceng Vanilla Café kembali berbunyi. Entah kenapa, tapi kalimat selamat datang disertai senyum tulus sang barista yang melirik dari counter selalu membuat Lava merasa hangat. Tempat ini masih sama ramainya tepat seperti saat Lava berkunjung terakhir kali. Kali ini, sekelompok anak remaja mendominasi tempat. Dari bar station paling pojok tempat Lava duduk, gelak tawa mereka terdengar begitu renyah. Hal-hal seperti ini selalu membuat Lava ingat pada teman-teman sekelasnya —yang bahkan Lava sendiri sebenarnya tidak begitu sering main bersama mereka. Lalu ingatan Lava terbang menuju Satria yang kadang galak kadang galak banget, kemudian berakhir pada Ara yang randomnya minta ampun.
Lalu saat senar gitar dipetik perlahan oleh remaja lelaki yang duduk di panggung live music, Lava mengalihkan wajahnya ke dinding kaca hanya untuk menemukan keramaian pelataran Vanilla oleh para pejalan kaki yang meninggalkan kendaraan mereka di ujung jalan sana. Instrumen lagu minor yang hangat disertai suara lembut gadis yang duduk bersanding dengan remaja lelaki itu hari ini turut mengantarkan matahari pulang. Dalam lagu yang ia dengar, Lava membawa dirinya untuk menjelajahi masa yang sudah ia lalui. Menyapa kembali luka dan duka yang pernah ia pernah ia temui.
Jakarta adalah kota kelahirannya, turut menjadi kota favoritnya. Tapi sepanjang perjalanan yang sudah ia lalui di sini, Vanilla adalah satu-satunya sudut kota Jakarta yang membuat Lava jatuh cinta. Berada di kawasan pusat bermain, di ujung trotoar persimpangan jalan memasuki kawasan ini memang sengaja disediakan tempat parkir bebas biaya karena ada aturan yang tidak memperbolehkan pengunjung membawa kendaraan. Sama seperti mereka, awalnya Lava sempat mengeluh karena dia harus berjalan menyusuri ruko-ruko di sini untuk bisa mencapai Vanilla karena berada di ujung. Tapi begitu berbaur dengan orang-orang yang berlalu lalang di sana, Lava akhirnya mengerti bahwa berjalan di antara keramaian adalah hal yang menyenangkan.
Di Vanilla, Lava tidak pernah bertemu luka. Di Vanilla, Lava selalu bahagia. Mungkin alasan yang saat itu Lava temui tidak luar biasa. Suatu sore, saat Lava masih berusia 9 tahun, Lava terjatuh dari bar station tempatnya duduk sekarang. Untuk pertama kalinya sejak Lava bisa mengingat apa saja yang sudah terjadi dalam hidupnya, Papa mengendong Lava keluar. Mama bergegas membayar pesanan mereka, lalu menggandeng tangan Sherly untuk mengikuti Papa. Papa dan Mama membawa Lava ke rumah dengan perasaan cemas yang luar biasa.
Satu siang di hari ulang tahun Lava, Sherly membawanya ke mari. Berbekal uang recehan yang ia dapatkan hasil dari memecahkan celengan kesayangannya, Sherly membelikan Lava jam tangan setelah mereka pulang dari Vanilla. Untuk itu, Lava benar-benar bahagia. Jam tangan jelly berwarna merah muda transparan yang Lava simpan baik-baik supaya tidak rusak. Untuk itu, dia betulan bahagia.
Menuju ujian akhir SMP, saat Lava sedang stres-stresnya memperjuangkan hasil terbaik, Rezvan membawanya ke sini. Lava sempat kesal karena Rezvan malah membawanya bermain. Tapi begitu tahu Rezvan mengundang pacarnya yang pintar bukan main, Lava sangat bersyukur karena dia mendapatkan pemahaman supaya bisa mengingat pelajaran dengan mudah. Walau beberapa hari setelahnya, Rezvan putus dengan pacarnya itu. Padahal Lava kira, suatu hari dia akan menjadi bridesmaid untuk mereka.
Pertengkaran pertama dengan Dimas, Lava mengadu pada Satria. Setelah memaki Dimas habis-habisan, Satria memarkirkan motornya di ujung jalan sana dan berjalan membawa Lava menuju Vanilla. Satria memesan flat white untuknya padahal sebelumnya Lava tak pernah menyukai kopi. Tapi setelah itu, kopi menjadi salah satu bagian dari hidupnya.
Walau Lava begitu mencintai Vanilla, tapi ia tidak datang sesering itu ke sini. Paling hanya satu kali dalam satu bulan bagi Lava datang, itu pun kalau dia ingat. Rezvan ataupun Satria hanya menganggap bahwa Vanilla adalah salah satu kafe yang tak begitu berarti, mereka tidak pernah lagi membawa Lava ke sini. Itu lah kenapa Vanilla adalah bagian yang tak pernah Lava ceritakan, bahkan pada Dimas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Luka
Fiksi RemajaLava sadar bahwa dirinya selalu dinomorduakan. Tapi dia memilih menjalani hidup dengan bahagia daripada meratapi kesedihannya. Walaupun orang tuanya tidak pernah menganggapnya ada, toh Lava masih mempunyai saudara yang selalu ada untuknya, pacar yan...