Menjelang tengah hari.
Rambut lurusnya sudah kembali jatuh sebahu, seolah menjadi ciri khas seorang Lavanya Hanadya. Kali ini anak itu menjadi satu-satunya siswi tidak berseragam yang berada di sekolah. Ya memang, sih, kebanyakan dari para siswa siswi yang hadir hari ini memang tidak menggunakan seragam. Mereka hanya menggunakan kaos polos namun masih dipadukan dengan celana olahraga sekolah atau bawahan krem almamater mereka.
Anak itu berdiri di halaman depan, menatap bangunan sekolahnya yang nampak cantik dari sana. Di hadapannya, gedung utama sekolah menjulang tinggi, dari tempatnya Lava hanya perlu berjalan lurus maka dia akan masuk ke lobby. Di samping kanan, taman sekolah yang dihiasi dengan kolam pancuran tiba-tiba terlihat seperti yang ada di dongeng-dongeng. Cantik sekali. Di samping kirinya ada parkiran motor yang bersebelahan dengan lapangan voli tertutup dan hanya bisa diakses dari dalam. Sementara di belakangnya, gerbang utama terbuka lebar.
Bagi Lava, sekolah ini sudah memenuhi perannya sebagai rumah kedua. Benar-benar rumah kedua yang tak jauh berbeda dengan rumah papa. Rumah yang tidak bid menjadi tempat pulang. Rumah yang memberikan banyak kesedihan. Walaupun begitu, dalam hembusan nafasnya, Lava memutuskan untuk menarik senyuman dibanding mengucapkan selamat tinggal.
Dari dalam, suara riuh terdengar begitu merdu dan menggema. Di sela-sela kegiatan classmeeting dan porseni sebelum menyambut akhir semester, kegiatan remedial pun dilakukan bagi mereka yang nilai ujiannya tidak memenuhi standar.
Papa: kamu ke bandung duluan. nanti papa sama mama nyusul kalo kakak kamu udah libur semester
Lava: iyaa
Papa: dokumen kepindahan kamu gimana?
Lava: papa gausa khawatir. besok aku sama Kares langsung pengajuan ke sekolah baru. Kares udah buat janji
Papa: oke
Lava memandangi pesan terakhir itu tanpa berniat membalasnya. Sebaliknya, dia keluar dari roomchat milik papa dan memandangi ponselnya.
Tanda bintang tertinggi pada kontak yang paling sering dihubungi masih ada di kontak Satria. Namun Lava sama sekali tidak berniat menghubunginya. Kepindahan Lava yang tiba-tiba tidak dapat diterima dan sahabatnya itu marah besar dalam definisi marah yang sesungguhnya, membuat Lava sungkan sendiri apabila ingin bertemu dengan Satria. Lava juga tidak bisa berpamitan kepada Ara. Sama seperti Satria, anak itu juga marah. Hanya saja yang namanya perempuan, marah sambil mengeluarkan air mata. Lava berani bertaruh, jika Ara tahu Lava akan pergi sekarang, maka Ara tidak akan segan untuk lari dari ruang ujian remedial hanya untuk menangis lebay.
Membayangkannya saja Lava sudah merasa geli.
Beberapa saat, Lava mengetik nama Dimas dalam kolom pencarian dan memandangi room chat kosong itu untuk waktu yang cukup lama. Lagi, dia tersenyum tipis. Dia mulai mengetik pesan, mengucapkan kalimat selamat tinggal dan semoga Dimas senantiasa bahagia. Walau Lava tahu, bahwa sampai kapanpun centang satu abu-abu di sana tidak akan pernah berubah sampai kapanpun.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan si mantan terindah —ya karena mantan Lava hanya satu dan semua kenangan indah tentang lelaki itu tak akan pernah Lava lupakan, Lava menghubungi Rezvan. Seperti yang sudah-sudah, panggilan langsung terhubung tanpa harus menunggu lama.
"Sayaaang." Dan sama seperti biasanya, Lava akan merengek tanpa dibuat-buat.
"Hm? Kenapa? Ada masalah?"
"Enggak, semuanya aman."
"Bagus deh. Mau dibeliin apa? Nanti gue mampir ke supermarket sebelum ke sekolah lo."
"Gak usah, nanti aja beli di jalan kalo aku laper mah. Kares ke sini aja, cepet. Panas tau."
"Bentar, ini masih di lampu merah."
"Buruan!"
"Iya, sabar."
Berikutnya, Lava berbalik. Melangkah meninggalkan pelataran sekolahnya. Membuat mereka yang tanpa sengaja melihat itu menghela napas panjang, entah kenapa tiba-tiba merasa kehilangan.
Sementara Ara, di ruang remedial gadis itu membabi buta menyelesaikan soal. Dia tidak peduli apakah nilainya kali ini bisa membantu nilai sebelumnya atau tidak. Yang ada di dalam pikirannya hanya Ara ingin memeluk Lava sebelum mereka tidak akan bertemu untuk waktu yang lama. Nasib buruk, sebab saat Ara menyeret Satria untuk mencari Lava, dia menemukan bahwa gadis berambut sebahu itu masuk ke mobil Rezvan yang baru saja tiba. Padahal Ara hanya ingin mengucapkan selamat tinggal dan semoga selamat sampai tujuan.
"Lava, siap?"
Anak itu menoleh untuk menunjukkan senyum lebar. "Aku siap, Kares. Ayo kita mulai semuanya dari awal."
Rezvan turut tersenyum, lantas menginjak pedal gas berbaur bersama puluhan kendaraan lainnya. Dalam perputaran roda kendaraan yang ditumpanginya, Lava menaruh sebait doa. Dia tahu bumi berputar bukan untuknya, maka dari itu dia akan berusaha semampunya.
Semoga Lava lekas sembuh. Tak apa tidak kembali menjadi utuh, tapi setidaknya semoga Lava mampu kembali berdiri tegak untuk menatap langit biru.
Semoga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Luka
Fiksi RemajaLava sadar bahwa dirinya selalu dinomorduakan. Tapi dia memilih menjalani hidup dengan bahagia daripada meratapi kesedihannya. Walaupun orang tuanya tidak pernah menganggapnya ada, toh Lava masih mempunyai saudara yang selalu ada untuknya, pacar yan...