"Lav, bener gak mau bareng?" Sekali lagi, Rangga—ketua kelas Lava— bertanya. Hanya untuk menemukan gadis berambut sebahu itu mengangguk yakin. "Boncengan gue masih kosong padahal kalo lo mau bareng."
Lava tertawa geli memandangi ketua kelasnya itu. "Kenapa sih lo? Pengin banget kayaknya lo bonceng gue," kata gadis itu tanpa beban.
"Cih." Rangga mendelik. "Walau keliatannya blangsak blangsak juga gue tuh ketua kelas yang bertanggung jawab, ya. Gue gak mau lo dihukum gara-gara gak bawa buku hukum yang sesuai sama yang ditugaskan," jelas lelaki itu sungguh-sungguh. "Soalnya kalo lo sampe bikin ulah, endingnya gue juga yang bakal diomelin," tambahnya, dengan suara pelan nyaris berbisik.
Lava kembali tertawa. "Gak bakalan sampe gue gak bawa tugas elah. Lo kayak baru kemaren sore aja kenal gue. Tau sendiri rules nomor satu dalam hidup gue adalah nilai yang sempurna," katanya dengan yakin.
"Beneran lo gak mau bareng?"
"Iya, Rangga, ya ampuuuuun bawel banget sih ini bapak-bapak satu," omel Lava mendecak geram. "Tar gue nyusul, dianterin mas pacar. Udah ah sana pergi, berisik lo. Nanti sharelock aja di grup kalian jadinya ke mana."
"Yaudah, gue duluan," pamit Rangga pada akhirnya. Dia naik ke atas motor matic yang terparkir di sampingnya. Setelah mengenakan atribut keselematan dan menyalakan mesin, Rangga pamit satu kali lagi pada Lava. Laki-laki itu menekan klakson satu kali guna mengomando anak kelasnya yang lain untuk mulai jalan, yang memang sudah berkumpul di parkiran dan siap berangkat.
Sementara Lava hanya bisa melambaikan tangannya saat yang lain ikutan pamit padanya. Tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain mengucapkan hati-hati di jalan dan sampai bertemu di tempat tujuan.
Setelah 7 motor itu benar-benar keluar, baru lah Lava mulai melangkahkan kaki meninggalkan parkiran. Gadis berambut sebahu yang hari ini mengenakan jaket jeans bergambar tokoh robot disney berwarna putih bulat besar itu merongoh ponselnya dari saku rok. Langkahnya terhenti di kursi panjang yang tersedia di taman dekat kolam air mancur yang ada di sayap kiri sekolah.
Gadis itu mengecek ponselnya, mengirimkan satu pesan untuk memberitahu Dimas bahwa dia sudah pulang sekarang. Untuk beberapa saat pesan yang dia kirim hanya menyisakan tanda centang satu abu-abu. Tapi Lava tak banyak berpikir, mungkin Dimas sedang dijalan sekarang.
Selagi menunggu Dimas sambil menikmati langit teduh dan angin hangat siang menuju sore hari itu, Lava beritahu saja bahwa tujuannya sebenarnya sederhana. Besok di pelajaran PPKN, seluruh anak kelas Lava –sama dengan kelas lain sebenarnya– diharuskan membawa buku berisi materi hukum pidana dan perdata yang sumpah demi apapun Lava heran kenapa anak SMA kelas 11 harus belajar itu –masing-masing boleh memilih satu dan Rangga sudah membagi tugas tadi–, jadi hari ini dia berniat pergi ke toko buku. Sebenarnya bisa saja mereka mengkolektifkan uang dan menunjuk ketua kelas dan sekretaris untuk pergi. Hanya saja mereka sepakat untuk pergi bermain dulu setelah dari toko buku. Yang pada akhirnya Lava yakin pasti hanya dua tiga orang saja yang betulan ke toko buku sementara yang lainnya menitip dan menunggu di tempat.
Tadinya Lava akan menebeng pada Rangga, tapi di jam istirahat kedua Dimas bertanya jadwal Lava hari ini dan gadis itu langsung mengabarkan bahwa dirinya akan pergi bersama anak kelasnya. Mengetahui itu Dimas memutuskan akan mengantarkan Lava, berjanji, yang tentu saja membuat Lava senang. Makanya Lava langsung membatalkan pintanya pada Rangga dan sampai menolak ajakannya, karena dia memang betulan akan berangkat bersama Dimas.
Angin berhembus semakin kencang, seolah sengaja mengarak gumpalan awan putih di atas kepala Lava untuk menjauh dan digantikan dengan gumpalan awan yang nampak agak kelabu. Gadis itu menarik nafas panjang, melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Sudah 10 menit sejak Lava memutuskan untuk menunggu Dimas di tempat ini. Dan gadis itu nampak mulai gelisah saat menemukan pesan yang tadi dia dikirimkan berakhir centang dua abu-abu, belum dibaca sama sekali. Lava kembali mengirimkan pesan pada kekasihnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lava dan Luka
Teen FictionLava sadar bahwa dirinya selalu dinomorduakan. Tapi dia memilih menjalani hidup dengan bahagia daripada meratapi kesedihannya. Walaupun orang tuanya tidak pernah menganggapnya ada, toh Lava masih mempunyai saudara yang selalu ada untuknya, pacar yan...