009. Tanya yang Tak Membutuhkan Jawaban

150 8 0
                                    

"Yaaahhh, kok baikan sih?"

Lava mendelik sempurna mendengar keluhan Rezvan yang kecewa tanpa dibuat-buat. Gadis berambut sebahu itu bersandar pada sandaran kursi di belakangnya, melirik Rezvan yang fokus menatap lampu merah di depan mereka. Bukan tanpa alasan Rezvan fokus seperti itu, tapi karena bukan satu atau dua kali dia dibuat terkejut oleh pengendara lain yang ribut menekan lakson padahal lampu lalu lintas di depan mereka masih berwarna kuning.

"Kares bisa gak sekali aja bersikap kayak manusia normal pada umumnya?" Cecar Lava sebal. "Bukannya seneng aku baikan sama Kak Dimas, malah dinyinyirin."

"Ya lu ngapain berantem kalo ujung-ujungnya baikan, sih? Udah paling bener kalo abis berantem tuh ya putusan," sahut Rezvan santai. "Lagian gue perhatiin si Satria masih betah ngejomblo tuh."

"Terus urusannya sama Satria apa!? Kares bisa gak sih sekaliiiii aja gak usah bawa-bawa Satria kalo aku lagi curhatin Kak Dimas? Gak nyambung tau gak," omel Lava. "Lagian wajar kali aku berantem sama Kak Dimas. Di mana-mana juga gak ada hubungan yang mulus lancar jaya terus-terusan, pasti ada aja hambatannya."

Hari ini Lava berangkat sekolah diantar oleh Rezvan. Sebenarnya Lava juga kaget Rezvan tiba-tiba ada di rumahnya, entah dari mana datangnya. Tapi saat Lava terbangun jam 3 pagi tahu-tahu Rezvan sudah tidur di sofa ruang tengah. Sepupunya yang satu itu malah terlihat seperti orang yang diusir dari rumah.

Lava sudah sepenuhnya baikan dengan Dimas. Satu hari setelah Dimas mengirimkan makanan untuk Lava melalui Satria, lelaki itu menemui Lava dan minta maaf atas kesalahannya. Tentang janji yang sudah Dimas ingkari, juga tentang amarah yang tak seharusnya memuncak saat Dimas melihat Lava diantar oleh Satria. Dimas sudah mengakui bahwa kejadian itu sepenuhnya karena kesalahannya.

Sementara Rezvan, sekali lagi, entah dari mana dia tahu kabar bahwa Lava dan Dimas sempat berantem sehingga dia menanyakan apakah Lava sudah putus atau belum. Lalu saat Lava menceritakan keseluruhannya, Rezvan mendecak seakan betulan tak suka bahwa Lava dan Dimas sudah damai.

"Dah sana lo sekolah, biar pinter, biar kagak bucin," kata Rezvan saat mobil yang dibawanya tiba di depan gerbang sekolah Lava.

"Berisik lu prenjon!" Balas Lava, segera keluar setelah pamit lebih dulu pada Rezvan.

Rezvan sempat menoyor kening Lava sesaat sebelum gadis itu benar-benar pergi. Tapi bukan karena tersinggung karena apa yang dikatakan Lava barusan adalah fakta. Setelah memastikan Lava benar-benar menghilang di antara lalu lalang anak SMA itu, Rezvan kembali menjalankan mobilnya dalam laju normal. Pagi ini dia masih mempunyai banyak waktu sampai kelas pertamanya dimulai. Tapi begitu Rezvan melirik pada kaca spion, lelaki itu mengernyit samar mengenali motor di belakangnya yang siap menyalip.

"Dimas bukan sih?" Gumam Rezvan pada diri sendiri, saat motor tadi benar-benar sudah menyalipnya. Dia membelalak menyadari Dimas bersama seorang perempuan yang sangat dia kenal.

"Kok dia bisa sama Sherly?"

***

Kedatangan Rezvan si anak kedokteran di gedung fakultas hukum membuat beberapa mahasiswa di sana agak kaget, karena biasanya Rezvan hanya akan datang ke kantin tanpa mampir ke bagian lain gedung. Rezvan sepenuhnya sadar bahwa dia memang terlalu pilih kasih antara Lava dan Sherly. Tapi menurutnya itu bukan hal yang besar sebab Lava tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang sebanding dengan usaha yang sudah dilakukannya.

Sebenarnya Rezvan hanya sedang mencoba peruntungan saja hari ini. Nekat mendatangi Sherly dan menunggu di persimpangan tangga lantai dua tanpa tahu jadwal mata kuliah Sherly. Lelaki itu bersandar pada pembatas tangga, berdiri tenang tanpa melakukan apa-apa, tanpa menyapa siapapun yang melewatinya. Yang tentu saja membuat orang-orang di sana makin kaget, sebab biasanya Rezvan akan menegur siapapun yang berpapasan dengannya dan mengobrol seru membahas apapun.

Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang