016. Rasa yang Tak Bersuara

192 14 4
                                    

Di antara cahaya kemuning lampu yang menggantung berjarak di atas counter, Dimas mematung saat panggilan terputus. Mbak kasir yang barusan memberikan papper bag titipan Lava berusaha memberikan senyum terbaik nya, sebab dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di sini. Bukan satu atau dua kali dia menyaksikan kisah romansa yang terjadi di Vanilla, tapi untuk pertengkaran, kafe ini terlalu damai sehingga dia cukup asing dengan situasi ini. Jujur saja, dia merasa canggung bukan main.

Setelah sempat mengucapkan terima kasih, Dimas pergi meninggalkan Vanilla dalam langkah cepat. Meninggalkan Mbak kasir yang diam-diam menarik napas lega. Dalam hembusan napasnya, Mbak kasir melangitkan doa, semoga semuanya baik-baik saja. Dia tidak tega saat melihat Lava pergi bagaikan mayat hidup, juga terkejut saat Dimas datang dengan nafas memburu seperti dikejar setan.

Dimas masih berusaha menghubungi Lava, sebelum akhirnya tersadar kontak Lava berubah menjadi kontak kosong yang tidak bisa dihubungi. Lava memblokirnya. Lalu saat mencoba menghubungi kontak seluler Lava, tak ada respon apapun kecuali suara operator yang menjelaskan bahwa ponsel Lava mati. Dimas mengerang. Sambil menenteng papper bag pemberian Lava, Dimas kembali berlari. Bagaimanapun juga dia harus menemukan Lava, meminta penjelasan dari gadisnya.

Tadi Mbak kasir bilang Lava pergi sendiri setelah 3 jam diam di meja pesanan mereka. Tapi Dimas tak percaya. Jadi setelah berlari sampai dia tiba di parkiran, Dimas menghubungi seseorang. Orang dengan persentase 90% akan menjadi pelarian Lava; Satria.

"Apa?"

"Lava mana?"

"Lah, nanya gue. Mana gue tau. Bukannya Lava sama lo? Jam 6 sore, Vanilla Café lantai dua meja nomor 12. Perayaan anniversary yang kedua. Pikun lo?"

"Nggak, Lava gak sama gue. Lava udah pergi dari Vanilla."

"Kalo Lava udah pergi dari Vanilla, kenapa lo baru nanyain sekarang anjir? Sekarang udah jam berapa!?"

"Gue baru dateng."

"Dih, tolol."

"Gue udah minta Lava pulang, karena gue emang ada urusan. Tapi Lava kekeuh gak mau. Tapi pas gue nyampe Lava udah pergi, bahkan dia nitipin kado buat gue di kasir."

"Lo ngapain lagi sih Dim? Bisa gak sih gak usah nyakitin temen gue terus!?"

"Lava putusin gue."

"Anjing."

"Lava pasti sama lo, kan? Lo di mana? Gue ke sana sekarang."

"Nggak, Lava gak sama gue!"

"Tapi Lava selalu lari ke elo kalo lagi berantem sama gue!"

"Cari Lava sampe ketemu, kalo enggak, abis lo sama gue!"

Begitu saja, Satria memutuskan sambungan membuat Dimas memukul stir mobil dengan frustasi. Dimas merutuk di sana, menjatuhkan kepala di atas stir yang apabila mesin dalam keadaan menyala, pasti klakson akan berbunyi dengan keras di sana.

Dimas melirik papper bag yang dia simpan di kursi samping dalam tatapan nanar. Dia tahu, suatu hari pasti dirinya harus memutuskan untuk memilih satu di antara dua gadis yang ada dalam hidupnya. Selama ini Dimas masih bimbang, dia masih benar-benar belum tahu siapa yang harus dipertahankan. Dia tidak tahu bagaimana cara memutuskan salah satunya tanpa meninggalkan luka di sana, dia masih mencari cara. Tapi Dimas sama sekali tidak percaya bahwa ternyata Lava yang memutuskan dirinya, dalam waktu yang secepat itu. Dimas masih tidak percaya, dia belum bisa menerima.

Dalam tatapannya, diam-diam Dimas menimang masa lalu. Jika saja Lava sepenuhnya percaya pada dirinya, maka Dimas tidak akan memiliki keraguan apapun. Dia pasti tidak akan menahan diri untuk jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada Lava. Dimas tak akan takut untuk tersesat dalam perasaan yang tidak memiliki jalan keluar. Tapi menyadari Lava selalu menganggapnya antara ada dan dan tiada, menyadari bahwa posisi Dimas bagi Lava tidak berbeda dengan Satria, Dimas ragu. Dimas tidak tahu apakah dirinya benar-benar satu-satunya atau bukan bagi Lava. Dimas tidak tahu, Dimas takut.

Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang