013. Diandra

153 8 0
                                    

"Gue harus apa!?"

Kelas Fisika. Diantara 70% teman sekelasnya yang memperhatikan sang guru yang sedang menjelaskan materi, Lava tenggelam jauh dalam lamunan seorang diri. Tangan kirinya menopang pipi, sementara tangan kanannya sibuk mencorat-coret bagian belakang bukunya sampai lembar itu berubah menjadi hitam oleh tinta yang Lava goreskan. Duduk di bangku pojok belakang, tubuh Lava jelas terhalangi oleh Rangga sehingga dia tidak akan ketahuan dengan mudah.

Entah kenapa waktu berjalan begitu lambat bagi Lava. Lava itu paling tidak bisa perang dingin dengan orang-orang yang mempunyai peran penting dalam hidupnya, terutama Satria. Karena biasanya dalam setiap pertengkaran mereka tidak pernah sampai saling mendiamkan seperti ini. Entah itu Satria atau Lava, satu di antara keduanya, jika memang bersalah, pasti akan menyingkirkan ego dan datang untuk minta maaf. Tidak ada yang namanya gengsi di antara mereka. Tapi masalahnya, sampai kini Satria tidak ada menghubunginya. Bahkan ketika tidak sengaja berpapasan di kantin pun, Satria membuang muka dan mengabaikan Lava seolah gadis itu tidak pernah hidup di dunia.

Apa Lava yang harus pergi menemui Satria?

Tidak. Lava tidak bersalah. Lava benar-benar tidak melakukan kesalahan. Pertengkaran mereka satu minggu yang lalu itu dimulai oleh Satria yang datang-datang minta Lava putusin Dimas. Tentu saja Satria yang salah. Jadi kenapa juga harus Lava yang minta maaf?

Seandainya Satria tahu bahwa setelah hari itu, keesokan harinya Dimas datang dan membawakan buket coklat sebagai permintaan maaf untuk Lava, pasti sahabatnya tidak akan seperti ini sekarang. Satria pasti tidak akan pernah meminta Lava memutuskan Dimas, karena nyatanya bagi Lava, laki-laki itu memperlakukannya dengan begitu baik.

"Enak ya jadi anak pinter."

Lava terkesiap, refleks menegak kaget. Dia mendecak, spontan mendorong wajah cantik dengan mata sipit yang bekilat tajam itu supaya menjauh darinya.

"Apa, sih!?" Protes Ara, menepis tangan Lava.

"Bisa gak lo gak usah bikin gue kaget!?" Balas Lava menggeram tertahan, sekarang sepenuhnya sadar bahwa di depan sana ada guru.

"Padahal gue cuma bisik-bisik," bantahnya, benar-benar berbisik seperti yang ia katakan. Pun ketika Ara menegur Lava tadi, dia berbicara dengan pelan, nyaris tidak terdengar.

"Tapi gue kaget, napas lo kena muka gue!"

"Diem gak lo berdua!" Ancam Rangga, tentu saja si ketua kelas tidak akan diam apabila anak buahnya membuat masalah.

Lava mencuatkan bibir, menoyor pipi Ara supaya menjauh dari pandangannya. Bukannya kembali ke dunia nyata dan mengerjakan latihan soal yang tertulis di papan tulis, Lava justru kembali membuat garis abstrak tak beraturan di halaman baru bukunya, menciptakan gambar tak berbentuk di sana, persis seperti perasaannya sekarang. Lava bingung.

"Ra," panggil Lava, menoleh dan mencolek lengan teman satu bangkunya. Membuat gadis cantik itu berdeham sebagai respon.

Lava menarik napas panjang, memperhatikan bagaimana Ara berusaha keras memecahkan soal. Dia jadi merapatkan bibir, kembali melamun jauh meninggalkan Ara yang sudah berhasil dia buat penasaran.

"Lo pengen banget ya gue kasihani?" Cibir Ara saat Lava bahkan sama sekali tidak merespon panggilannya. "Sebenernya lo kenapa, sih? Ada masalah?"

Dan pertanyaan Ara berikutnya berhasil membuat Lava menoleh, hanya untuk menatap wajah teman satu mejanya itu lekat, ragu apakah Lava harus bercerita atau tidak. Dia tidak begitu mengenal Ara, takut apabila bercerita, itu hanya akan menambah luka baginya.

Berbicara tentang Ara, dia adalah anak baru di kelasnya. Ara baru masuk minggu lalu, tepat dua hari setelah Lava bertengkar dengan Satria. Dilihat secara fisik, Ara benar-benar cantik dengan tubuh semampai dan rambut sebahunya. Sekilas akan terlihat cukup anggun, tapi apabila diperhatikan lebih lama, dalam wajahnya jelas ada raut tomboy kentara yang tidak akan pernah bisa hilang. Gaya bicaranya bahkan nyablak seperti anak laki-laki. Matanya lumayan sipit, apabila tersenyum bisa membentuk bulat sabit terbalik yang sangat tipis dan cantik, namun apabila kesal, mata itu bisa menatap lebih tajam dari ujung belati.

Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang