022. Tidak Ada yang Baik-baik Saja

211 8 0
                                    

Hari itu cuaca cerah. Matahari bersinar begitu terik seolah ingin berteriak pada siapa saja bahwa hidup tidak melulu tentang hujan. Tapi di sana, pada sepasang kaki yang melangkah gontai, nampak jelas bahwa hari yang cerah tidak akan selalu dinikmati sebagai hari yang cerah. Hari yang cerah tidak selalu berlaku serupa bagi sebagian orang. Ada beberapa di antara mereka yang tetap menggigil kedinginan, ada pula yang harus tertatih lantaran tanpa sengaja menginjak pecahan kaca yang membuat kaki terluka sampai tak mampu berdiri lagi.

Jika ada satu momen dimana Sherly benar-benar merasa patah hati, maka hari itu adalah hari dimana Lava putus cinta. Sebab untuk pertama kali dalam hidupnya, dia seolah kehilangan sosok adik seutuhnya. Anak itu sepenuhnya paham bahwa selama ini Lava merasa terasingkan, tapi bukankah Sherly berusaha sebaik mungkin bagi Lava? Dia memang tidak sepintar sang adik, tapi bukan berarti dia tidak pernah mengerti. Bahkan Sherly sadar diri, bahwa dia tumbuh menjadi gadis keras kepala yang mau menang sendiri. Lantas pengakuannya hari itu, Lava berhasil membuat Sherly kalah telak. Segala bentuk kasih sayang yang dia perjuangkan habis tanpa sisa. Bukan lantaran Sherly menjadi benci, tapi dia pun turut sakit hati.

Sejak kejadian Lava marah malam itu, adiknya masih tidak mengeluarkan suara sampai sekarang. Dia juga masih tidak bertegur sapa dengan papa dan mama. Kabar buruknya, kini semua orang terperangkap dalam sepi. Tiap kali duduk di meja makan, hanya suara denting sendok yang terdengar. Dan ketahuilah, hal itu membuat Sherly merasa bersalah berkali-kali lipat lebih parah. Padahal dia sendiri tidak tahu alasan pasti.

Sherly tahu Lava itu anaknya memang emosian dan mudah sekali uring-uringan, tapi tak pernah sekalipun ada dalam bayangannya Lava akan marah dalam definisi yang sebenarnya. Hari itu saat Lava bilang Sherly sudah mengambil semua yang dia miliki, Lava sama saja seperti memukulnya berulang kali. Dan mendengar pernyataan Rezvan yang mengatakan bahwa Lava hanya sedang emosi lantaran patah hati, Sherly jatuh tersungkur sampai tidak tahu lagi caranya berdiri.

Memangnya mereka pikir, Sherly ini apa?

"Sherly? Mau ngapain?"

Sherly menoleh. Tepat ketika dirinya memasuki gedung fakultas kedokteran, Rezvan berjalan mendekat dengan tas coklatnya yang tersampir di pundak.

"Oh, lo mau nyari si Dimas?" Tanya Rezvan sekali lagi.

Sherly tersenyum tipis, menggeleng memberi jawaban. "Gue nyari lo," katanya. "Udah gue coba telfon tapi hape lo gak aktif. Dateng ke sini juga cuma nyoba peruntungan aja sih, soalnya kan gue gak tau jadwal lo."

Rezvan mengernyit, menatap Sherly heran. "Tumben?" Katanya, hanya untuk membuat Sherly dikurung mendung. "Ada perlu apa?"

Dan dalam kalimat itu ada petir yang menyambar-nyambar, untuk membuat gadis itu tersadar bahwa benar-benar ada jarak yang begitu jauh antara Sherly dan Rezvan.

"Emang harus ada perlu dulu baru gue boleh ketemu sama sepupu gue sendiri?" Tanya Sherly tersinggung.

"Sher." Rezvan maju satu langkah. Kedatangan Sherly yang bilang ingin mencarinya saja sudah membuatnya begitu keheranan, dan sikap gadis itu hanya membuatnya makin tidak paham sekarang. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak selain menepuk kepala Sherly. "Gue buru-buru, kalo ada yang diomongin, nanti gue ke rumah."

"Kares! Gue sebenernya masih sodara lo bukan, sih?"

"Sherly, lo kenapa? Aneh banget tau gak."

"Elo yang kenapa! Gue ada salah apa sih sama lo!? Sejak Lava marah, lo juga ikutan menciptakan jarak. Tiap hari lo dateng ke rumah, tapi cuma buat Lava. Yang ada dalam otak lo cuma Lava, Lava, Lava dan Lava. Karena Lava, gue jadi serba salah di rumah. Gue juga sakit hati, Kares. Tapi apa pernah lo liat gue? Apa pernah lo nanya apakah gue baik-baik aja atau enggak? Apa pernah lo mengulurkan tangan buat gue sama seperti lo yang tiap hari peluk Lava? Sebenernya gue ini apa, Kares!?"

Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang