001. Sebuah Petuah Lama

589 24 0
                                    

Pada malam yang panjang di pertengahan bulan juli saat Lava sedang melaksanakan camping di acara MOS sekolah menengah pertamanya bertahun-tahun yang lalu, tepat di acara renungan api unggun, dia pernah mendengar bahwa manusia harus tumbuh menjadi kuat. Entah itu laki-laki yang nantinya dituntut untuk melindungi, ataupun perempuan yang bagaimanapun hakikatnya dia harus tetap bisa menjaga diri sendiri untuk apapun kondisi yang sedang dihadapi. Namun sampai tahun-tahun berikutnya Lava masih tidak benar-benar mengerti definisi dari manusia kuat yang sebenarnya itu yang seperti apa. Yang ia tahu hanya dua, bahwa manusia kuat adalah manusia yang tidak meratapi kesedihan dan tidak pula menangis kala bersedih. Tapi, mengapa? Mengapa manusia begitu otoriter dan egois pada diri dan perasaan mereka sendiri? Dan Lava, mengapa ia sama kerasnya dengan manusia lain?

Gadis berambut sebahu itu menarik nafas panjang dengan berat. Ditutupnya pintu rumah, berbarengan dengan menyalanya lampu jalanan yang berjajar di setiap sepuluh meter di depan sana. Kedua kelopak matanya nampak sayu, menatap lurus jalanan yang mulai dia tapaki. Entah ke mana kakinya akan melangkah, yang jelas, pada sabtu sore yang menyedihkan ini Lava hanya membutuhkan ruang untuk menikmati bagaimana jiwanya melayang entah ke mana, meninggalkan raga kosong yang tak berbuat apa-apa.

Rumahnya sedang kosong sekarang. Tapi justru kosong itu lah yang membuat Lava merasa bahwa ada selembar kertas yang disulut api di salah satu bagian dada kirinya. Panas membakar, kemudian menyisakan abu yang berhamburan bersama asap yang menggumpal. Sesak. Mereka terus menerus berputar-putar, seolah mencari jalan keluar, padahal nyatanya mereka hanya ingin membuat Lava semakin tersiksa.

Pada sore menjelang malam itu, matahari nampak membakar langit barat pada sisi paling jauh di sana. Diikuti semburat merah gradasi oranye yang cantik, dengan sebagian awan putih yang masih saja arak-arakan ingin turut merasakan kehangatan. Tapi harus disayangkan, sebab ketika Lava mendongak guna melihat langit di atas kepalanya, yang ia lihat hanyalah gumpalan awan kelabu pada langit yang hampir pudar. Lalu dalam sepersekian detik, angin dingin yang menyapu daratan Jakarta turut membantu penyebaran tetesan air dari awan yang nampaknya sudah jenuh. Satu kejadian yang sudah Lava duga –sebab sejak tadi langit memang sudah agak mendung– yang membuat gadis berambut sebahu itu berlari kecil untuk mendapatkan tempat yang teduh secepatnya.

Kakinya berhenti saat dia tiba di pos ronda rt 004. Sesaat dia mengernyit heran, tumben sekali pos ronda sepi. Padahal biasanya apabila sore menjelang malam seperti ini selalu ada remaja tak ada kerjaan seusianya yang berkumpul hanya untuk bermain games bersama, sebelum nanti digantikan oleh bapak-bapak yang main karambol atau catur karena mereka mendapatkan jadwal untuk berjaga. Tapi setidaknya Lava bersyukur, karena ruang yang sejak tadi dia butuhkan sudah dia temukan.

Miaw.

Belum sempat Lava naik ke atas dipan pos ronda, suara ngeongan yang terdengar familiar membuat gadis itu menoleh. Spontan, Lava melotot kaget melihat buntalan hitam berbulu yang berlari kencang ke arahnya di bawah rintikan air hujan.

"Heh, anjir!" Pekik Lava kaget. "Lo mau ngapaiiiinnnn!!????" Tanyanya, greget sendiri melihat kucing itu melompat naik mendahului dirinya.

Lava mendecak geram, menatap tajam buntalan hitam berbulu itu seakan dia punya dendam pribadi padanya. Dengan satu hembusan nafas berat, Lava memutuskan untuk ikut naik, duduk berjarak dari kucing yang sedang menggoyangkan tubuhnya untuk menyingkirkan air yang membasahinya.

"Lo tuh ngapain ngikutin gue sih, Boo?" Tanya Lava emosi, mengomel. "Gue cuma mau nyari angin seger. Dingin tau gak gue diem doang di rumah. Iya rumahnya emang gede, tapi kalo gak orang, buat apa!?"

Boo, atau kucing hitam berbola mata hijau yang sebenarnya mempunyai nama asli Blake itu mengeong sama kerasnya dengan suara Lava. Tanpa peduli dirinya masih kuyup, perlahan dia mendekat untuk kemudian duduk lebih dekat dengan Lava.

Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang