003. Antara Teman dan Cinta

298 13 1
                                    

Bagi Lava, berbicara tentang Dimas itu tidak akan pernah ada habisnya. Selalu ada saja kelakuan atau ucapan Dimas yang membuat Lava terpesona dan berakhir dengan gadis itu yang akan berulang kali menceritakannya pada Rezvan dan Satria (karena selama ini hanya mereka berdua yang Lava punya sebagai tempat berbagi cerita), tanpa peduli apakah keduanya senang atau tidak mendengarkan celotehan penuh kekaguman keluar dari mulut Lava. Yang pasti Lava akan selalu menyebut nama Dimasta dalam setiap cerita yang ia punya.

Seperti siang ini. Di tempat duduk yang tersedia di depan supermarket, Satria hanya termangu tanpa menghiraukan keberadaan Lava yang duduk di sebrangnya. Cup pop mie yang sebelumnya dia beli pun dibiarkan begitu saja di atas meja setelah satu suapan, sebelum pada akhirnya Lava yang menyambarnya juga. Sementara pandangannya menatap lurus jalanan di depan sana dengan kelopak mata menyipit lantaran sinar matahari cukup membuatnya silau.

Ruas jalan di depan masih sama ramainya, atau mungkin justru lebih ramai mengingat sekarang adalah hari sabtu —hari di mana banyak kaula muda keluar dengan kendaraan mereka yang sudah dibuat lebih tampan, lantas mereka bergegas menemui seorang ayah untuk minta izin membawa anak gadisnya pergi. Penjajak tisu dan minuman masih berada di sana, tak jauh dari lampu merah untuk menawarkan dagangan mereka dengan senyum penuh harapan yang mereka bawa. Suara klakson yang bersahutan sudah seperti instrumen musik yang mengiringi siang ini.

"Oh ya, gue dibeliin jam baru sama Kak Dimas. Cakep banget gak sih, Sat?" Tanya Lava baru teringat. Dia menaruh cup pop mienya, langsung menaikkan tangan kemeja yang sebelumnya menutupi sampai setengah jemarinya. Jujur saja, jam tangan yang Lava maksud bukanlah jam tangan bermerek dengan harga selangit. Itu adalah jam tangan super biasa saja. Hanya saja karena yang memberikannya Dimas, tentu saja bagi Lava itu menjadi jam tangan yang sangat sangat sangat luar biasa.

Tanpa melirik, Satria menyikutkan tangannya di atas meja dan menghela napas panjang. "Kenapa ya tukang parkir demen bener muncul secara tiba-tiba? Kan kasian ibu itu sampe terkaget-kaget, padahal baru juga nyalain motor," komentar Satria berdecak tak habis pikir.

"Terus kan ini tuh dikasih sama Kak Dimas soalnya jam gue yang kemaren talinya putus."

"Ternyata tukang parkir itu bukti nyata dari makhluk gaib, gue baru ngeh."

Memang sedikit aneh, tapi seperti itu lah mereka. Walau sedang bersama, keduanya kadang mempunyai dunia masing-masing dan tak peduli dengan dunia satu sama lain. Yang ada dalam pikiran Lava hanya kantong kresek berisi jajanan dan juga pop mie yang Satria diamkan. Sementara Satria, sibuk sendiri mengamati satu persatu pelanggan yang terkejut saat tukang parkir tiba-tiba datang ketika mereka mau menyebrang. Lalu saat Satria melirik Lava yang masih sibuk dengan dunianya, lelaki itu kembali sadar bahwa dia sudah menghabiskan sabtu siangnya hanya dengan duduk diam seperti orang bodoh begini.

Kali ini, pemuda itu memilih untuk menatap Lava. Sumpah demi apapun, apabila ditawari kembali ke masa lalu dan diberi satu permintaan, Satria tidak akan berpikir dua kali untuk minta tidak pernah dipertemukan dan mengenal Lava. Lava sangat baik, Satria tahu. Hanya saja kadang gadis itu tidak tahu dirinya bukan main. Teman macam apa yang tiba-tiba datang ke rumahnya hanya untuk minta diantar ke supermarket depan? Dan parahnya Lava meminta Satria mengantarkan dirinya untuk menunggu Dimas.

Lava nyuruh Satria nganterin dia ke supermarket buat nungguin cowok lain.

Bayangin, men. Bayangiiinnnnn.

Ya Satria tahu sih Dimas itu pacarnya Lava, cuma ya gak sopan aja gitu. Mana tadi pas Lava ke rumah, Satria tuh lagi tidur. Gara-gara sama Lava disuruh cepet-cepet, Satria jadi ikutan buru-buru dan dengan bodohnya dia melupakan ponselnya. Satu-satunya benda yang dia bawa cuma dompet, itu juga dipegang sama Lava sekarang.

Lava dan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang