4. Dekat

178 17 0
                                    

Biru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biru

"Mbak Alma ngambek, Mas. Katanya kesal karena gak diajak pergi sama Mas dan Pak Miko."

Pagi hari saya dan Papa kelimpungan sendiri karena Alma katanya sudah berangkat sekolah lebih dulu. Setelah bertanya pada Bi Ratih, ternyata dia masih mempermasalahkan soal kepergian saya dan Papa kemarin yang tidak memberitahu dulu kepadanya.

Saya terus-menerus mempertanyakan, kenapa saya dan Papa harus memberitahu dia bila ingin pergi ke suatu tempat?

Alma sepertinya sedang berada dalam masa puber yang perasaannya benar-benar selalu seperti roller coaster. Kemarin malam sewaktu saya pulang bersama Papa, dia menerima bingkisan yang Papa belikan sebelum tiba di rumah. Tidak ada tanda-tanda bahwa adik saya itu marah karena ditinggal pergi.

Saya yang tidak tahu caranya menghadapi perempuan itu seperti apa dibuat stress sendiri. Semoga saja Alma tidak berbuat yang aneh-aneh apalagi sampai mengakibatkan Papa dipanggil ke sekolah lagi.

Seharian di sekolah saya tidak fokus sama sekali. Bukan hanya soal Alma, tetapi juga soal gadis yang tadi sempat saya berikan senyum sebelum ulangan matematika. Ucapan Papa sepulang sekolah terngiang-ngiang di kepala saya.

"Jaga Jingga."

Cuma dua kata tetapi membuat saya keheranan. Saya tidak merasa bahwa hubungan kami cukup dekat untuk melakukan hal semacam itu. Saya juga bukan bodyguard gadis itu sampai-sampai harus bertanggung jawab atas keselamatannya. Lagipula dia hanya siswi biasa yang tidak selayaknya presiden yang membutuhkan penjagaan ketat untuknya sebagai orang nomor satu di sebuah negara.

Di dalam hati saya, ada keinginan untuk menguak informasi perihal maksud Papa dari Jingga. Siapa tahu dia paham maksud dari orang tua kami memperkenalkan saya dengan dirinya. Tetapi hal itu hanya berakhir keinginan saja karena saya tidak berani untuk menyapanya.

"Biru! Semangaat!"

Teriakan itu terdengar dari pinggir lapangan sewaktu saya sedang asik membawa bola basket menuju ring. Selalu saja begitu. Setiap jadwal eskul saya, Nila selalu berdiri di tepi lapangan hanya untuk menyemangati saya dengan sebotol air dingin di tangannya. Sebenarnya itu bagus karena sesekali saya menjadi semangat. Tetapi dari sekian persen rasa bahagia itu, sekitar 90% didominasi oleh rasa kesal karena merasa terganggu. Pun dengan teman-teman setim basket dengan saya. Mereka seringkali menegur saya karena merasa keberatan oleh teriakan Nila.

Masalahnya gadis itu tidak akan menyerah sekalipun saya memintanya pulang. Bahkan kalau saya menyuruhnya untuk duduk dan diam, dia tidak akan menurut karena katanya harus menyemangati saya. Padahal sehabis menyemangati, suaranya seringkali hilang dan menyisakan suara melengkingnya itu menjadi suara berat dengan sesekali batuk akibat tenggorokannya yang sakit.

"Sudah saya bilang. Kamu tidak perlu seperti ini, Nila." Sekali lagi saya menegurnya. Nila hanya memanyunkan bibirnya tetapi tidak berniat menyerah. Tangannya menyodorkan air minum yang ia bawa.

SWASTAMITA [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang