Damian
Hidup di tengah-tengah stigma masyarakat mungkin memang sudah menjadi hal yang wajar. Setiap langkah kaki lo untuk melakukan sesuatu, pasti akan selalu diikuti oleh komentar-komentar mereka yang pastinya menuntut untuk lo dengar.
"Katanya kamu ngajar nari gitu, ya? Lelaki kok nari sih. Kayak perempuan aja. Mending kayak Teteh kamu tuh jadi PNS."
"Mirza juara satu loh di tadika. Kalau abangnya juara berapa? Juara tari, ya?"
Saat gue mendengar orang-orang mulai berkomentar tentang hidup gue, yang gue lakukan, ya, cuma ketawa-ketawa aja sampai mereka puas karena merasa kalau gue gak akan tersinggung sama ucapan mereka.
Orang-orang kan memang suka gitu. Bilangnya sih, "gak papah dia mah gak bakal marah. Anaknya gak baperan."
Tapi pada akhirnya mereka gak sadar kalau apa yang mereka lakuin memang sudah berhubungan sama yang namanya perasaan. Mereka sama aja meremehkan perasaan orang lain padahal segala sesuatu yang berhubungan sama perasaan itu gak bisa dianggap mudah.
Dengan mereka mengatakan begitu serta dengan memberikan embel-embel 'baperan', marah itu seolah menjadi hal yang gak wajar dan gak boleh dirasakan.
Katanya sih, komentar orang-orang itu harus didengarkan. Karena katanya, ada yang bisa membuat diri sendiri menjadi lebih baik dan tahu kedepannya harus bagaimana, juga bagian mana yang harus diperbaiki.
Tapi kalau menurut gue, ada masanya juga dimana lo gak perlu mendengarkan orang lain. Apalagi komentar-komentar mereka itu cuma sebuah komentar yang mereka gak pikirin lagi apakah yang mereka komentarin itu benar, apakah yang mereka ucapkan itu gak akan menyakiti si penerima, atau apakah mereka berhak mengatur-atur hidup orang lain.
Gue sudah kenyang banget makan semua omongan orang tentang gue. Mulai dari gue yang anaknya suka bercanda dan katanya gak bisa serius, gue yang gak sepinter Mirza, atau gue yang gak sehebat Teh Ina, juga gue yang gak pantes karena memilih jadi pelatih dance.
Kadang gue suka nanya deh. Apa salahnya sih cowok nge-dance? Nari deh nari biar lebih gampang bahasanya, lebih luas cakupannya. Toh, dari gerak itu, tubuh jadi sehat. Apalagi dari gerak itu gue bisa menghasilkan uang. Bagi gue, itu sudah menjadi sesuatu hal yang patut gue syukuri dan membuat gue merasa kalau hidup gue di dunia ini itu berguna.
Seenggak-bergunanya gue, setidaknya dengan begitu, gue merasa lebih berguna dibandingkan orang-orang yang hidupnya suka mengomentari hidup orang lain kayak gak punya kerjaan.
Orang-orang kenal gue sebagai orang yang gak bisa apa-apa. Tapi mereka yang berpendapat begitu, gak pernah mau mengenal gue lebih dalam untuk tahu apakah pendapat mereka itu bener atau enggak.
Gue anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak perempuan gue dipanggilnya Teh Ina. Nama lengkapnya, Inara Adriana Agatha. Dia PNS dan sekarang ngajar di SMA Negeri.
Lalu adik gue yang gemesin, Mirza Ardhani Ravindra namanya. Masih tadika. Anaknya pinter dan sayang banget sama gue seperti gue yang sangat menyayangi dia. Mungkin dia salah satu orang yang bilang ke gue, "Kak Dami hebat." Di saat kebanyakan orang bilang gue gak bisa apa-apa.
Bagi Mirza, gue adalah kakak lelakinya yang mampu dia banggakan dan kakak lelakinya yang selalu dia andalkan. Di mata Mirza, gue akan selalu jadi kakaknya yang hebat sekalipun gue terlihat gak berarti apa-apa di mata orang lain.
Selain Mirza, gue juga punya seseorang yang juga selalu melihat gue sebagai orang hebat di dunia ini.
"Katanya ada yang berantem tuh di kelas sebelah. Cewek sama cowok. Terus cowoknya nangis."
KAMU SEDANG MEMBACA
SWASTAMITA [Jeon Wonwoo]
FanficSwastamita; ketika Biru dan Jingga bertemu, disitulah langit menemui titik indahnya. Jeon Wonwoo As Adhyastha Biru Mahawira # 1 - carat (24-09-21) # 1 - partoflife (18-02-22) # 1 - wonu (17-05-23) # 1 - swastamita (28-08-23) # 3 - mipa (29-06-23) ...