33. April

99 11 2
                                    

Biru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biru

15 April, 08.00 WIB, praktek menyanyi Seni Budaya.

"Aduh, gue deg-degan." Suara Anka tiba-tiba terdengar membuat perhatian Gibran dan saya yang awalnya tertuju pada panggung sederhana di depan sana, beralih padanya.

Gibran tertawa kecil untuk mencairkan suasana. Dia kemudian mengatakan, "gak papah. Jangan khawatir. Pasti bisa. Kita udah lama latihan. Gue yakin pasti dapet A plus."

Seperti Gibran yang mempunyai keyakinan tinggi, begitu pula saya. Oleh karena itu, saya juga tersenyum tipis pada Anka untuk menyemangatinya.

"Oh, iya." Gibran bersuara lagi. Kali ini dia menoleh ke sebelah saya, tepat dimana Jingga berada. "Lo gimana? Masih panas dingin? Gue ambilin minum mau?"

Gibran itu sebenarnya orang yang sangat peduli pada sekitar. Meskipun perhatiannya tidak berarti khusus, tetapi dia akan melakukan apapun sebisanya untuk membantu orang-orang.

Sekitar jam enam lewat empat puluh lima, ketika kita semua berkumpul di ruang kesenian, Jingga sudah terlihat gugup. Saya bisa melihat tangannya yang gemetar berkeringat dingin hingga dia juga tidak banyak bicara.

"Gak perlu," jawab Jingga singkat. "Nanti yang ada gue pingin ke toilet."

Tawa Gibran terdengar. Dia yang bersebelahan dengan Anka tepat di depan saya dan Jingga, membalikkan badannya untuk kemudian menepuk pundak Jingga. "Udah-udah. Tenang, ya. Gak papah, Jingga. Jangan khawatir. Pasti semuanya lancar."

Kalau dilihat dari interaksi mereka, saya yakin kalau hubungan mereka sudah akur kembali. Mungkin benar yang kemarin-kemarin itu hanya karena Jingga masih emosional. Juga Gibran yang belum memahami sepenuhnya seperti apa perasaan Jingga. Hari ini mereka tampak saling memahami satu sama lain. Mencoba mengerti dan saling memberikan semangat.

"Terapin teknik relaksasi yang waktu itu gue kasih tau, Jingga." Kali ini Anka yang berujar pada Jingga. Dia melanjutkan, "tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan pelan-pelan."

Jingga mengikuti instruksi dari Anka. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Perlahan-lahan, ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.

Merasa sedikit khawatir karena tangan Jingga yang masih terus gemetar, saya berkata padanya, "sini tangan kamu."

Jingga tidak berpikir banyak. Dia yang gugup hanya mengangkat tangannya untuk diarahkan pada saya. Dalam hitungan detik, tangannya kemudian sudah berada dalam genggaman saya. Tangannya yang dingin dan gemetar menyatu dengan tangan saya yang hangat dan tenang.

"Kalau gue ... suaranya ilang ... gimana?" Suara Jingga terdengar pelan dan gemetar meskipun masih bisa terdengar oleh saya, Anka dan Gibran. Ia terlihat takut-takut dalam mengatakan itu.

Anka dan Gibran berpandangan satu sama lain. Sedangkan saya hanya mengeratkan pegangan saya padanya supaya dia tidak merasa takut.

Sebelum kedua orang di depan saya dan Jingga menjawab, saya lebih dulu bersuara, "tidak akan. Suara kamu akan keluar seperti biasanya. Lembut dan merdu."

SWASTAMITA [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang