Biru
"Lukanya ... bagaimana bisa sedalam ini?"
Sewaktu mengobati luka Nila, saya baru sadar kalau luka di lehernya itu tidak wajar. Memangnya setajam apa tangan Jingga sampai bisa menyakiti leher Nila sampai sedalam ini? Lukanya justru seperti ... terkena benda tajam.
"Ya, kamu kan tau. Ulah si Jingga," jawab dia dengan santai.
Sampai lehernya sudah terbalut perban, saya masih terdiam mengamati lukanya. Masih merasa heran mengapa luka itu bisa sebesar itu di saat - setahu saya, Jingga tidak pernah memakai perhiasan apapun di tangannya kecuali gelangnya yang berwarna jingga ataupun jamnya. Tapi akhir-akhir ini pun, juga tadi, saya tidak melihat Jingga memakai jam.
"Kenapa? Gak percaya?" tanya Nila hingga membuat lamunan saya buyar.
"Hm... sudah selesai. Lebih baik kita ke lapangan untuk ikut upacara." Saya mengalihkan pembicaraan kemudian berdiri untuk segera pergi dari UKS.
"Gak mau ah. Panas. Di sini aja. Aku kan emang sakit. Kamu temenin aku. Gak bakal diomelin kok." Nila beralasan sambil mengulurkan tangannya, hendak menggenggam tangan saya supaya tidak beranjak.
"Kamu sudah baik-baik saja. Ayo keluar," ajak saya lalu kembali melangkah menuju pintu keluar UKS.
"Kalau lukanya emang bukan karena Jingga doang, kamu mau apa?"
Langkah saya terhenti sampai di depan pintu. Bahkan saya belum menyentuh knop pintu untuk keluar tapi Nila membuat saya enggan untuk melanjutkan langkah ataupun berbalik.
"Mau marah? Mau nyalahin aku? Mau gak terima karena bikin kamu sama dia berantem?"
Lagi-lagi, saya mendengarkan.
"Terus kenapa aku gak boleh marah waktu dia bikin kita berantem?"
Menyimak dalam diam tanpa berniat menyela.
"Kenapa aku gak boleh kesel waktu dia mau ambil kamu dari aku?"
Dengan pikiran yang sama lagi kalau dia akan berhenti saat dia puas.
"Kenapa aku gak boleh nyakitin dia di saat dia udah nyakitin aku sampai aku sehancur ini?"
Tapi ternyata saya sadar.
"Dan kenapa aku yang jahat, Ru?"
Kalau gak akan ada kata puas untuk suatu kepemilikan.
"Dia tidak berbuat apa-apa, Nila. Kenapa kamu semarah ini dan sedalam ini membenci dia?" Kali ini, saya bersuara. Tanpa sedikitpun berniat berbalik untuk melihatnya.
"Apa yang dia lakukan sampai kamu berpikir kalau dia sudah menghancurkan kamu?" Supaya dia bisa sesekali dengar saya juga.
Supaya dia bisa tahu bagaimana perasaan saya saat ini. "Bukannya kamu harusnya membenci saya? Karena saya yang melakukan semua ini ke kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SWASTAMITA [Jeon Wonwoo]
Fiksi PenggemarSwastamita; ketika Biru dan Jingga bertemu, disitulah langit menemui titik indahnya. Jeon Wonwoo As Adhyastha Biru Mahawira # 1 - carat (24-09-21) # 1 - partoflife (18-02-22) # 1 - wonu (17-05-23) # 1 - swastamita (28-08-23) # 3 - mipa (29-06-23) ...