13. Memahami

108 16 1
                                    

Jingga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jingga

"Aduh, maaf, Ga. Iza rewel tadi. Gak mau tidur maunya main sama gu- eh, kok? Lo kenapa?"

Mungkin sekitar lima belas menit gue nunggu Dami sampai. Kebiasaannya Dami memang kalau naik motor malem-malem, dia cuma pakai celana pendek dan kaos polos yang kali ini berwarna hitam. Lalu alas kakinya pasti cuma pakai sendal jepit. Atasnya sih pakai helm tapi bawahnya kebuka banget sampai dia sering masuk angin.

Dia menyodorkan helm pada gue yang langsung gue pakai tanpa berniat sedikitpun jawab pertanyaannya. Bahkan sampai gue naik ke motor maticnya itu, gue bisa melihat kedua mata Damian yang gak lepas untuk menelisik wajah gue, kayaknya sih lagi nerka apa yang terjadi sampai gue gak buka mulut dan milih bungkam.

"Gue nunggu, Ga."

Dami gak mendesak gue. Dibandingkan meminta gue untuk bercerita dengan segera, dia malah berbicara seolah memberikan ruang untuk gue menenangkan diri lebih dulu.

Seharusnya, gue memang gak perlu berlebihan kayak sekarang.

Seharusnya, gue juga gak perlu memikirkan perkataan Nila sampai sebegitunya.

Tapi namanya juga manusia. Yang mau diingat seringkali terlupa. Yang mau dilupa justru semakin teringat.

Sampai akhirnya, gue gak bisa menahan diri lagi. Sambil bersandar ke punggung Dami, gue menunduk dalam. Perlahan-lahan terisak sampai air mata gue tanpa sadar ikut membasahi bajunya Dami.

"Kalau ada alasan lain selain Biru, gue bakal izinin lo nangis, Ga." Samar-samar, gue mendengar suara Dami diantara keributan angin yang berhembus karena motor Dami melaju cepat. Dia melanjutkan, "tapi kalau Biru alasannya, jangan. Jangan, Ga. Jangan nangisin sesuatu yang gak pernah jadi milik lo dan gak mengangg lo kayak lo menganggap dia."

"Gue pernah bilang soal ini, kan?" Dia bicara lagi.

Iya, Mi. Gak seharusnya gue menangis untuk seseorang yang gak pernah menganggap gue sepenting gue menganggap dia di hidup gue ini.

Tapi, Mi, air mata gue ngalir tanpa gue minta.

Sesak.

Amat sesak sampai gue rasanya ada yang mengambil alih oksigen di sekeliling gue sampai gue kesulitan bernapas.

"Kenapa gue gak berhak, Mi? Kenapa gue ... gak boleh punya rasa?" Hingga akhirnya, gue membalasnya. Gue menjawabnya dengan pertanyaan yang mewakili semua kekacauan di kepala gue.

"Bukan salah lo, Ga." Dan Dami, dia menjawab semuanya dengan caranya yang sederhana yang gak pernah gue sangka. "Bukan salah lo kalau lo punya rasa."

"Yang salah itu cuma orangnya dan keadaannya." Gue pikir itu jadi kalimat akhirnya.

Sampai Dami lalu melanjutkan, "yang gak tepat."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SWASTAMITA [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang