Jingga
"Yah, Bun, Jingga berangkat, ya!"
Nyaring banget gue teriak padahal Ayah lagi ada di rumah tamu yang jaraknya cukup dekat dengan gue yang ada di depan rumah sambil berjongkok setelah selesai memakai sepatu.
"Mau kemana sih? Hari Sabtu bukannya kamu libur?" Gue mendengar Ayah menyahut.
Sambil berdiri, gue memiringkan tubuh untuk melongok Ayah yang ada di dalam rumah. "Libur harusnya tapi Jingga ada janji sama temen."
"Yah, padahal Ayah mau ajak kamu sama Bunda jalan-jalan hari ini," ungkap Ayah sambil menurunkan koran yang dibacanya. Ia tertawa kecil karena tahu gue akan kesal.
"Ih, Ayah mah. Lain kali deh, ya? Besok deh besok. Ya? Ya?" Gue memaksa.
"Gak ah. Ayah mau jalan-jalan berduaan aja sama Bunda. Kamu nanti ganggu lagi." Nah kan. Cuma Ayah gue doang kayaknya yang terang-terangan ngomong gini. Mana mukanya kelihatan ngeledek banget seolah sangat puas telah menjahili gue.
"Ih! Besoook!" paksa gue sekali lagi. Gak mau ketinggalan momen menyenangkan itu bersama mereka.
Gue pikir Ayah bakal terus tertawa dan menuruti gue. Tapi tahunya ...,"besok Ayah balik, Nak."
Lo tahu apa yang aneh?
Gue adalah anak yang aneh yang gak suka dipanggil "Nak" sama Ayah.
Gak tahu aneh aja.
Karena Ayah biasa memanggil gue dengan nama gue ataupun menggunakan bahasa Ayah-kamu. Dan saat Ayah mulai menggunakan panggilan itu,
gue takut.Ayah yang jarang menuntut, seolah meminta gue untuk memahaminya.
Ayah yang seringkali memberikan kebebasan untuk gue meminta, seolah kali ini ingin meminta pada gue.
Meminta gue paham. Meminta gue menurut.
Dan gue selalunya akan terdiam lama. Cuma karena panggilan yang mungkin saja gak ada maksud apa-apa.
Semua cuma karena pikiran gue. Yang terlalu takut dan enggan memahami pikiran gue sendiri.
"Yaudah gih berangkat. Ada uangnya gak? Pak Aditya baru gajian nih. Mau berapa?"
Yah, dia malah sombong. Gue gak jadi deh tuh overthinking dan malah menjawab, "ceilah Bapak Direktur. Sombong banget. Gaklah. Anak Pak Direktur juga banyak duit nih. Kebanyakan dikasih sih." Gak bohong sih gue. Uang jajan bulanan yang biasanya Ayah kirim, di gue masih numpuk karena gue memang jarang membeli sesuatu kalau bukan untuk mengisi perut. Dan seringnya, baik Ayah atau Bunda selalu stok makanan di kulkas. Ya, gitu deh. Jadinya sisa banyak.
Ayah mengulum senyum tipis. Gak tahu kenapa sih beliau malah merespon begitu. Gue yang ada di depan rumah malah dengan lancangnya naik ke atas lantai — ya, meskipun sepatu gue bersih, tapi Bunda kan sudah nyapu lantai tadi pagi — cuma untuk berpamitan langsung pada Ayah dengan mencium punggung tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWASTAMITA [Jeon Wonwoo]
FanfictionSwastamita; ketika Biru dan Jingga bertemu, disitulah langit menemui titik indahnya. Jeon Wonwoo As Adhyastha Biru Mahawira # 1 - carat (24-09-21) # 1 - partoflife (18-02-22) # 1 - wonu (17-05-23) # 1 - swastamita (28-08-23) # 3 - mipa (29-06-23) ...