08. remember me

32 6 0
                                    

Malam terhitung terlihat cerah tatkala Eunsang baru saja menyelesaikan shiftnya. Tidak ada bintang ataupun bulan—namun tak ada pertanda hujan juga. Tetapi, tepat ketika Eunsang baru saja hendak keluar dari gedung rumah sakit, ponselnya bergetar nyaring. Mengerutkan kening sebab tak biasanya Minhee menghubunginya di tengah malam seperti ini.

"Sa, lo masih di rumah sakit 'kan?" Minhee langsung menyerobot dengan tanya, tanpa membiarkannya menyapa terlebih dahulu.

"Iya, baru mau balik. Emang kenapa?"

"Nanti dulu, jangan balik bentar gue mau minta tolong—shit," kening Eunsang mengerut tatkala mendengar temannya itu mengumpat lalu terdiam setelahnya. "Sa, posisi lo dimana sekarang?"

"Basemant."

"Oke, udah deket."

Klik.

Tunggu, apa?

Si lelaki menatap layar ponselnya dengan kebingungan sempurna. Bukankah tadi ia meminta tolong? Lalu kenapa telepon itu terputus begitu saja?

"Eunsang!"

Kedua alisnya terangkat saat melihat Minhee dengan tergopoh-gopoh berlari mendekatnya. Ia seperti tengah di kejar sesuatu namun tidak ada hal apapun yang mengikutinya di belakang. "Apa? Kenapa sih lo buru-buru banget?"

"Gue ada jadwal penerbangan, makanya buru-buru," katanya dengan napas yang terengah. Sambil menetralkan napas, Minhee merogoh sakunya, memberikan dua kartu tersebut pada Eunsang. "Ini lo tunjukin sama pihak keamanan apartemen, kalo yang ini buat kunci masuk."

"Apartemen siapa?"

"Raya," Minhee menarik napas panjang dan menghelanya pelan. "Gue minta tolong bisa nggak, Sa?" si lelaki berdeham sesaat. "Seharian ini, Raya nggak bisa dihubungin. Ini udah hari ketiga Raya nggak masuk kantor tapi kemarin gue masih ngerasa fine aja karena dia memang udah bilang untuk melimpahkan beberapa pekerjaannya ke gue."

"Terus?"

"Tapi pagi ini, Raya nggak bales semua telepon dan pesan gue, Sa. Bahkan dari siang ponselnya mati. Ini abis ini gue ada penerbangan ke Makasar buat ngurus masalah kantor cabang. Harusnya, tiga hari dari sekarang, Raya ada pertemuan penting disana. Gue nggak bisa menengok Raya sekarang karena—shit, gue juga ada masalah sama Yuna yang perlu gue bahas terus—" Minhee menahan napas sejenak, sebab kepalanya terasa pening. "Samperin Raya, ya? Gue nggak keburu kalo harus ke Yuna, terus Raya, terus langsung ke bandara. Waktunya mepet."

Eunsang menatap dua kartu tersebut dengan nanar, mendadak firasatnya berkata yang tidak-tidak. "Oke, tapi kenapa gue perlu nunjukin kartu ini ke pihak keamanan segala? Gue pernah ke sana kok."

"Sekarang keamanan Raya udah diperketat, Sa, jadi lo nggak bisa masuk tanpa izin atau akses gituan," Minhee menggeleng lesu. "Lo inget 'kan? Raya mantan polisi dan sekarang dia menjabat di perusahaan besar dengan posisi tertinggi. Musuhnya ada banyak. Nggak dari orang-orang yang dendam saat dia masih jadi polisi, tapi juga orang-orang yang berusaha nyerang perusahaannya juga."

Musuhnya ada banyak. Gosh.

"Gue nggak tahu mau minta tolong siapa lagi soalnya kerjaan Junhoo sama Hyunjin juga banyak."

"Iya, yaudah lo nggak perlu khawatir," balas Eunsang walau sebenarnya ia merasa risau setengah mati. "Nanti gue kabarin soal Raya."

Minhee mengangguk cepat. "Oke, makasih! Gue berangkat, ya!"

"Hati-hati."

Sepergian Minhee, ia masuk ke mobil dan duduk di bangku kemudi dengan pikiran penuh. Menatap kedua kartu itu bergantian lantas mendesah panjang. Kepalanya berkecamuk. Berbagai macam spekulasi kembali menghantuinya. Ra, lo kenapa lagi?

Moments | Eunsang ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang