12. the biggest fear

31 6 12
                                    

"Lain kali, jangan begitu lagi."

Raya yang baru saja dijemput oleh Minhee beserta supir dari bandara menoleh pada si lelaki jangkung yang duduk tepat di sampingnya yang baru saja berbicara dengan nada yang begitu sengit. "Apanya?"

"Masih nanya juga?" Minhee memandang dengan tatapan menyipit. "Soal berita heboh kemaren."

Untung sekali Pak Ridwan—orang yang kini menjadi driver pribadi Raya sudah mengetahui hubungan keduanya yang tidak hanya sekedar atasan dan sekretaris saja. Jadi mereka bisa berbicara dengan leluasa tanpa harus menutupi apapun.

"Iya dah bawel bener lo," kata Raya dengan tangan yang sibuk menggulir layar iPad di tangannya. "Pak, kalo misalnya Minhee masih ngedumel, mobilnya berhenti sebentar, ya."

"Memangnya kenapa?" tanya Pak Ridwan.

Si perempuan menatap sang lawan bicara dengan pandangan tak kalah sengit."Saya mau turunin dia dijalan. Berisik soalnya."

Jalan raya tak sepadat biasanya sebab ini hari minggu dan matahari masih tepat berada diatas kepala. Meski kendaraan cukup padat, tidak ada kemacetan yang cukup mengganggu. Namun, mobil tiba-tiba melaju dengan kencang hingga Minhee dan Raya cukup terkejut.

"Pak, bawa mobilnya jangan terlalu kenceng," tegur Minhee. "Abis ini nggak ada jadwal apa-apa, kok."

Tetapi dari balik kemudi, Pak Ridwan malah panik sendiri sebab itu bukan ulahnya. Ia hanya mengendarai mobil seperti biasa. Entah kenapa bisa, mobil tiba-tiba melaju dengan kencang. "Itu bukan saya! Saya nggak tahu, ada yang aneh dengan mobilnya."

"Aneh?" kedua alis Raya tertaut heran. Apalagi ketika ia mencondongkan tubuh, sepasang netranya melotot ketika kecepatan sudah mencapai 80km/jam. Lalu dia menoleh ke belakang menyadari bahwa ada motor yang berada di mobilnya. "Shit."

"Apa? Apa? Apa?!" Minhee jadi ikutan panik sendiri sebab sekarang karena mobil terlalu kencang, benda tersebut bergerak gesit menyalip kendaraan lain hingga mendapat klakson selama beberapa kali. "Kenapa?!"

Tanpa pikir panjang, Raya langsung meletakkan iPad dengan asal. "Pak Ridwan, pindah duduk ke samping biar saya yang nyetir."

"Raya, apa-apaan sih?" protes Minhee.

"Nggak usah banyak protes lo!" Raya menyiapkan diri. "Pak, pindah duduk ke samping."

"Tapi—"

"Mobilnya diretas," ucap Raya yang sebenarnya panik juga. "Nggak guna walaupun rem di injek sekuat apapun. Mereka pakai pengendali jarak jauh."

Disana Pak Ridwan hanya menurut. Hingga Minhee keheranan sendiri sebab ia belum menyadari kondisi yang terjadi sebenarnya gimana. "Raya—"

"Lo, Minhee, sekarang dengar gue baik-baik," si perempuan mengilah cepat ketika ia sudah duduk di kursi kemudi. "Ambil hape lo, telepon ambulan."

"Hah?!"

"Turutin aja!" walau tangan kiri Raya sibuk memegang stir sementara tangan satunya lagi bergerak berusaha membuka jendela. "Pak Ridwan teken tombolnya, jangan berenti sampe jendelanya ke buka!"

"Jendelanya nggak bisa dibuka, Bu," ucap Ridwan.

Dengan napas yang agak memburu, Raya menyahut, "Emang nggak bisa. Pintu juga. Karena mobilnya diretas."

"Raya!"

"Telepon ambulan Minhee!" seru Raya. Kini matanya melirik layar navigasi dimana dua kilometer ke depan terdapat persimpangan jalan yang cukup besar. Kepalanya agak pening untuk memutar otak agar meminimalisir kecelakaan. "Lo liat nggak tuh motor yang ada disamping mobil kita?!"

Moments | Eunsang ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang