Chapter 13: Tentang Hak

56 17 1
                                    


Raya mengambil napas panjang dan menghelanya pelan.

Gadis itu memutuskan untuk menenangkan pikiran dan mencari udara segar di taman rumah sakit. Dia duduk di kursi taman rumah sakit ditemani tiang infus di sampingnya. Udara segar serta ramainya anak-anak yang bermain kesana kemari walau matahari sudah terik membuatnya tersenyum. Banyak pohon tinggi berada di sekitar sini sehingga udara tak terasa panas.

"Bingung deh gue, kenapa dia bisa tenang banget gitu ya ngomong sedeket itu? Kenapa dia nanyanya begitu banget coba? Gue kan jadi geer," gumam Raya, teringat kejadian tadi pagi. "Sedangkan gue yang diem aja, jantung udah kayak mau copot. Tunggu. Kok gue jadi panik gini sih?"

Raya mengacak rambutnya berkali-kali. Lantas berdecak kesal.

"Kakak ngomong sama siapa?"

Raya menoleh, mendapati anak yang kira-kira masih bersekolah SMP mendekat padanya. Menggeret tiang infusnya lalu duduk disampingnya.

"Nggak sama siapa-siapa," Raya nyengir. "Kakak lagi banyak pikiran aja."

"Oh gitu," katanya manggut-manggut. Dia mengulurkan tangan—mengajak berkenalan. "Aku Ica, Kak. Umurku tiga belas tahun."

Raya menerima uluran tangan itu. "Aku Raya, umur aku enam belas tahun."

"Kakak dari kamar Bougenville 312 kan?"

"Kok kamu tau?"

"Aku dari kamar sebelah kakak," kata Ica. "Kakak sakit apa?"

"Sakitnya orang kecapean, tifus," balas Raya.

"Emang kecapean bisa bikin tifus ya?"

Raya mengangkat bahu. "Nggak tau deh. Hehe. Tadi sih diagnosa dokter begitu. Katanya gejala aku merujuk kesana."

"Kok kakak bisa kecapean?"

"Aku di sekolah aktif gitu, Dek. Ikut olimpiade, anggota OSIS juga," Raya menjelaskan dengan sabar karena Ica terlihat memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. "Terus sabtu lalu, sekolahku baru ada acara festival gitu. Aku kurang tidur, sampe lupa makan. Drop deh. Kamu sendiri gimana?"

Ica terlihat diam sebentar. Sorot matanya terlihat sedih, walau mulutnya tersenyum. "Aku iri deh. Aku nggak bisa aktifitas sebanyak kakak soalnya ginjalku nggak bakal kuat, Kak."

"Ginjal kamu kenapa?"

"Aku cuma tahu kalo aku nggak boleh capek dan harus rutin ngejalanin cuci darah."

Raya menutup mulutnya. Ica terlalu muda untuk terkena penyakit seperti itu.

"Kak," panggil Ica. "Apa menurut Kakak aku bisa sembuh?"

"Bisa."

"Serius, Kak?" ekspresi Ica berubah semangat.

Raya menganggukan kepala. "Serius. Apalagi kamu masih muda. Setahu Kakak, makin muda umur kita, makin kuat imun kita."

"Beneran?"

"Iya, beneran," Raya mengelus puncak kepala Ica. "Asalkan Ica harus yakin, Ica pasti bisa sembuh. Kalo yakin, pasti kamu bisa."

"Kalo begitu, aku nggak bakal marah lagi ke Mama kalo waktunya cuci darah," Ica menatap Raya dengan berbinar-binar. "Aku pengen banget jadi dokter loh, Kak."

Raya mendadak teringat ucapan Papanya. Ia tersenyum menatap Ica, membalas dengan semangat, "Serius? Bagus dong."

"Aku pengen bisa ngobatin banyak orang, Kak. Nggak tau, kayaknya rasanya menolong orang itu menyenangkan," oceh Ica. "Kalo Kakak sendiri pengen jadi apa?"

Moments | Eunsang ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang