Chapter 14: Egois

54 17 0
                                    

Walaupun sempat oleng karena sudah lama tak mengendarai motor, Raya menarik pedal gas dengan kuat tetapi tetap menjaga jarak setidaknya dua puluh meter lebih lambat karena penguntit itu sepertinya tidak tahu bahwa ia mengikutinya.

Perjalanan yang ditempuh memakan waktu hampir empat puluh menit lamanya. Mobil sedan berwarna hitam tersebut melambatkan kecepatan ketika membelok dan masuk ke sebuah perkampungan di pinggir kota. Setelah memastikan mobil tersebut terparkir di gudang yang tak terpakai, Raya memarkirkan motor di supermarket yang jaraknya tak jauh dari sana. Tentu ia harus membayar parkir lebih karena meminta cukup waktu.

Berjalan dengan langkah pelan berusaha untuk tidak menimbulkan suara, Raya berhasil memasuki gedung terbengkalai tersebut dan menyembunyikan diri di samping mobil tua yang sudah berkarat dimakan waktu. Di dalam ruangan tersebut cahayanya lebih terang dan ruangannya terlihat memadai—berbeda dengan kondisi yang ada di luar. Suara orang-orang yang mengobrol juga menggema mengingat gedung yang kosong juga suara mereka yang terlampau besar.

"Capek euy."

"Capek apaan lo, Jon. Cuma ngikutin cewek doang."

"Tau lo."

"Monoton banget hidupnya. Sekolah-kerja-kosan, nggak menarik."

Dari sini saja, Raya menangkap dua hal. Pertama, ada tiga orang di dalam ruangan tersebut saat ia mengenali tiga suara berbeda. Kedua, penguntit itu saling bekerja sama dan telah mengikuti Raya dalam waktu yang lama.

"Kalo bukan karena hadiah dari Bos, lo mah ogah kan nguntit cewek kayak begitu, Jon?"

"Kenapa gue harus dipanggil Jon, ketika nama Jaewon udah ganteng sih!" protes Jaewon tidak suka. "Lagipula, gue nggak nguntit!"

"Heeleh, lo ngikutin dia pas berangkat-pulang sekolah, pas kerja, sama balik kosan, kalo bukan nguntit, apa namanya?"

"Memastikan kegiatan yang dia lakukan," balas Jaewon. "Hanbin, kalo kerjaan lo leyeh-leyeh doang, nggak usah deh bawelin gue!"

Hanbin berdecak. "Bacot aje lo!"

"Tapi ya, Jon, menurut gue tuh cewek ada sisi menariknya gitu."

"Apanya sih, Bob, yang menarik?" tanya Jaewon. "Gue jadi curiga."

"Nggak gitu maksudnya!" kilah Bobby saat Jaewon belum mengutarakan kecurigaannya. "Hardworking banget gitu, Bro. Padahal keluarganya tajir melintir."

"Keluarga tajir melintir kalo diusir mah buat apa sih, Bob?" sahut Hanbin.

"Ya, kan dia bisa minta ke neneknya," Bobby berujar tak mau kalah. "Kalo dia minta ke neneknya, gue rasa dia kaga bakal kerja di café. Insting gue mengatakan begitu."

"Instang-insting-instang-insting!" seru Jaewon. "Tau ape sih? Lulus SMA juga kaga lo."

"WOI GINI-GINI GUE LEBIH TUA DARI KALIAN."

"Setaun doang," cibir Hanbin. "Tua, bangga lo?"

"Dasar bangsat."

Raya menghembuskan napas dan memutuskan untuk keluar dari sana tanpa ketahuan. Dia berjalan dengan tangan mengepal dan emosi yang memuncak dalam dada. Kepalanya terasa panas dan mulai memikirkan spekulasi-spekulasi yang berterbangan dalam pikiran. Dahinya berkerut dan Raya hanya penasaran dengan sosok Bos yang mereka bicarakan.

Karena saat mendengar mereka mengetahui Raya sebanyak itu, hanya ada dua kecurigaan yang muncul di kepala; dari salah satu orang yang membencinya sebenci itu atau dari salah satu orang yang dekat dengannya sedekat itu.

Moments | Eunsang ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang