2 TAHUN YANG LALU....
Pukul 7 pagi, Fares sudah ditunggu Kawasaki W175 SE yang telah ia panaskan terlebih dahulu sebelumnya. Seperti biasa, kelas Fares akan mulai di pukul 9, tetapi karena ingin singgah sarapan bubur ayam kesukaan di Jalan Raya Pondok Gede dulu, ia pun pergi lebih pagi agar tidak terlambat ke kampus.
"Fares pergi dulu, Pak." Ia berpamitan pada Pak Rama—bapaknya, yang tengah duduk di atas kursi roda.
"Iya, hati-hati." Pak Rama tersenyum.
"Iya, Pak." Fares meraih tangan kanan sang Bapak untuk cium tangan. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah berpamitan, bergegaslah si pemuda. Berpacu ia dan motornya menyusuri jalanan Bekasi menuju universitas yang bertempat di kota tetangga Bekasi, yaitu Jakarta Timur.
Beberapa menit kemudian, Fares masih di atas motornya yang bergaya retro-klasik. Namun, perutnya sudah perih dan berbunyi saja seperti tidak tahu kondisi.
"Sabar, sabar. Bentar lagi nyampe, Bro." Fares bicara pada perutnya yang baru saja bersuara, meminta hak untuk hidup.
15 menit kemudian, sampailah Fares di kedai bubur ayam Bang Saipul yang sangat ia cintai. Maksudnya buburnya, bukan Bang Saipul-nya.
Memarkirkan motor di pelataran kedai, Fares pun segera memasuki area kedai. "Bang Saipul." Ia menyapa lengkap dengan senyuman.
Si Bang Saipul berada di belakang gerobak indoor-nya, sedang sibuk dengan racikan buburnya. Ia mengangkat kepala. "Eh, Mas Fares. Bubur ayam spesial, buburnya banyakin, bawang gorengnya banyakin, dan gak pake kacang. Betul, kan?" Si penjual bertanya tanpa keraguan.
"Hahaha. Bukan maen, Bang, pinter banget! Iya, betul. Sama sate hati telur puyuhnya 4 tusuk." Fares menambahkan.
"Yah, adanya yang sate usus doang ini."
"Ya Allah, gak demen usus," kata Fares dengan nada dan wajah kecewa.
"Enggak, bercanda."
"Ya ampun, kirain beneran." Fares mendatarkan wajah. "Ya udah, saya duduk ya, Bang."
Bang Saipul mengangguk dan tersenyum saja.
Ketika Fares masuk lebih dalam, ternyata ada si wanita impiannya sedang menikmati bubur juga. Sendirian di meja kecil pojok tembok. Sebenarnya, ini bukan kali pertama Fares bertemu Diana di kedai bubur ini. Mereka kerap bertemu di kedai ini tanpa sengaja. Ia pun memasang senyum tipis manisnya, seraya berjalan menghampiri dosennya.
"Pagi, Bu," sapa Fares sopan.
Kepala Diana terangkat, mendongak menatap seseorang yang baru saja menyapanya sebelum memberi satu senyuman untuk si penyapa. "Pagi, Faresta. Duduk, duduk," ia mempersilakan dengan ramah.
"Iya, Bu." Fares tersenyum, kemudian duduk di kursi plastik yang berhadapan dengan Diana.
Kemudian, diam saja. Tidak ada percakapan, hanya ada Fares yang duduk menunggu buburnya sambil sesekali mencuri pandang pada dosennya.
"Tugas makalah yang harus dikumpulkan Senin sudah selesai belum, Faresta?" Diana bersuara tiba-tiba. Buburnya tinggal setengah, dan kebetulan bersamaan dengan bubur Fares yang akhirnya datang juga.
"Sedikit lagi, Bu. Tinggal kesimpulan dan sarannya aja," jawab Fares, menggeser semangkuk buburnya yang baru datang ke depan dada.
Diana hanya mengangguk-angguk, lalu melanjutkan makannya dengan santai. Sedangkan Fares, mulai memakan buburnya dengan tempo yang cepat, padahal masih ada asap panas yang mengepul di atas buburnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ASEXUAL WIFE ✔️
RomanceDiana tidak tertarik baik pada lawan jenis atau sesama jenis. Apalagi kepada yang lebih muda, makin tidak berminat tentu saja. Hingga menginjak usia 32 tahun dan bekerja sebagai dosen pun masih tak ada minat pada asmara. Namun suatu ketika karena su...