Setelah paginya hanya memakan nasi dan ayam goreng buatan istrinya, Fares tidak mau memakan apa pun lagi sampai pukul 5 sore sekarang.
"Fares mana, Raf? Kok makan sendiri? Biasanya kamu makan bareng dia." Ini Pak Rama, bertanya pada Rafa yang tengah makan sore sendirian di ruang makan.
"Di depan, Om. Udah aku ajak, tapi anaknya gak mau. Mana marah-marah terus."
Sungutan Rafa tentunya membuat Pak Rama mengernyit heran. Marah-marah? Faresta Damachandra anaknya marah-marah? Sungguh, Fares bukan tipikal orang yang suka marah-marah seberat apa pun masalah hidupnya.
"Marah-marah gimana?" Pak Rama bingung.
"Kayak ngomel-ngomel terus gitu, Om. Mirip cewek lagi menstruasi, gak bisa salah dikit, langsung disinisin sama dia," jelas Rafa sambil mengunyah.
Pak Rama makin heran saja mendengarnya. Dengan dua kruknya, ia memutuskan tuk menghampiri Fares di depan. Lalu setibanya di depan toko bunga, terlihat sang anak sedang duduk sendirian, menatap jalanan dengan pandangan agak kosong mengawang, tanpa rokok yang biasa sering ia isap.
"Res."
Yang dipanggil pun menoleh.
Pak Rama berjalan perlahan dengan bantuan kruk, lantas duduk di samping sang anak. "Kamu kenapa?" tanyanya tanpa basa-basi lama.
Fares menurunkan tangan dari dagu, menatap bapaknya sedikit bingung. "Kenapa? Kenapa apanya, Pak?"
"Kata Rafa, kamu marah-marah terus."
"Ah enggak, kok," sanggahnya, lalu menatap Pak Rama lebih serius. "Emangnya Fares marah-marahin Bang Rafa? Fitnah tuh, Pak. Jangan percaya," katanya tak terima.
Pak Rama menghela napas. Beberapa saat berselang, mereka pun diliputi keheningan hingga Pak Rama melihat Fares menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan, mengeluarkan suara ingin muntah.
"Res?"
Tak ada jawaban, sebab yang dipanggil tengah sibuk mengeluarkan suara howek, dua kali.
"Kamu mau muntah?" Bapaknya panik, lalu Fares hanya mengangguk cepat.
"Di situ aja, di situ!" Pak Rama menunjuk selokan yang ada di samping toko Fares. "Gak usah ke kamar mandi, jauh, ntar kamu malah jebret di lantai rumah." Lanjutnya lagi ketika Fares sudah berlari menuju selokan samping. Tak ada pilihan lain.
Pak Rama yang duduk di bangku itu hanya memandangi cemas putranya yang sedang muntah di selokan dengan gaya rukuk.
"Awas, hati-hati, Res. Jangan sampe pusing terus kamu nyusruk ke got!"
Fares mendengar seruan bapaknya, namun tak dapat menggubris karena sedang sibuk muntah. Mengabaikan orang-orang di dalam mobil atau di atas motor yang mungkin melihat aktivitasnya, mengingat Fares muntah di got pinggir jalan. Ia tidak peduli, memuaskan hasrat muntahnya lebih penting sebab sudah tak tahan lagi menahan mualnya yang tiba-tiba membabi buta.
Beberapa saat kemudian, Fares selesai. Ia cukup terengah-engah selepas mengeluarkan isi perutnya. Kembali menegakkan tubuh, lalu berkacak pinggang dengan dua tangan, berusaha mengumpulkan tenaga.
"Pak, permisi. Yang bunga matahari ini berapa satu buketnya?" Seorang pria mendatangi toko bunga, ia bertanya kepada Pak Rama.
Pak Rama pun menoleh, bersamaan dengan Fares yang mulai berjalan meninggalkan tepi selokan menuju depan tokonya lagi.
"Sebentar ya, Mas. Yang jual habis mabuk perjalanan." Ujar Pak Rama pada si pembeli.
Fares pun menatap sinis dengan ekor mata. "Apaan sih, Pak. Ngomongnya suka ngasal." Ia menggerutu lemas dan bete, sebelum menatap pria yang menanyakan bunga matahari tadi. "Bentar ya, Mas. Saya mau minum dulu," katanya, meminta izin pada sang calon pembeli sebelum masuk ke rumah untuk meminum air putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ASEXUAL WIFE ✔️
RomanceDiana tidak tertarik baik pada lawan jenis atau sesama jenis. Apalagi kepada yang lebih muda, makin tidak berminat tentu saja. Hingga menginjak usia 32 tahun dan bekerja sebagai dosen pun masih tak ada minat pada asmara. Namun suatu ketika karena su...