Beberapa hari kemudian...
Hari demi hari kian berganti. Mengantar kelabu merangkak tergopoh-gopoh menuju sinar terang yang sedikit. Terlihat di ujung terowongan gelap sang takdir.
Fares sudah biasa kehilangan. Ia kehilangan bunda dan adiknya secara bersamaan. Bahkan, sempat kehilangan semangat hidupnya juga. Apalagi, hanya tinggal dengan Bapak yang tak lagi mempunyai sebelah kaki sebagai penopang badan. Waktu itu, Fares sempat putus asa dan amat kesulitan.
Namun, sang waktu setia menemani, mengajarkan Fares apa itu kekuatan, kesabaran, perjuangan, dan pengorbanan. Tak perlu khawatir, kini dirinya sudah teramat tegar meski terkadang sang rindu datang meremas batang lehernya.
Pemuda itu baru saja selesai memakaikan celana pada bapaknya. Biasanya, Pak Rama bisa memakai celana sendiri dengan cara duduk di tepi ranjang atau di kursi. Namun sekarang agak sulit, sebab sebelah kakinya—yang masih utuh, sedang nyeri. Sepertinya, asam urat si Bapak sedang kambuh.
"Gara-gara Bapak kebanyakan makan sop daging yang dibawain Sani nih kayaknya." Pak Rama sadar sendiri.
"Ya Bapak, salah. Makannya gak kira-kira, lupa sama pantangan," ujar putranya. Kini ia sedang sibuk merapikan kamar sang Bapak.
Pak Rama menghela napas. Ia menyesal. Karena kalau sudah begini, pasti anaknya yang jadi terbebani. Meskipun Fares tidak pernah mengeluh, tetap saja Pak Rama tidak enak, merasa sering merepotkan sang putra.
"Nanti malem Fares tidur sama Bapak."
"Gak usah, Res."
Gerakan beres-beres pemuda itu pun terhenti, ia menoleh pada sang Bapak. "Loh, kenapa? Fares mau jagain Bapak. Takut nanti kalau malem-malem Bapak kebangun mau buang air, kalau Fares gak ada, gimana? Susah kan, kalau jalan sendiri."
Pak Rama kembali melesukan raut wajah. Ia memang sering terbangun di jam-jam dini hari karena desakan buang air. Lantas, kalau asam uratnya sedang kambuh begini, akan sulit sekali bagi Pak Rama untuk berjalan meski menggunakan tongkat kruknya.
"Maaf, Res. Bapak jadi ngerepotin kamu. Bapak udah minum obat, kok. Semoga besok udah gak terlalu sakit kaki Bapak," kata Pak Rama kemudian.
Fares pun berjalan menuju ranjang Pak Rama, duduk di sebelah kaki ayahnya yang sedang diselonjorkan. Kaki kiri Bapak sedikit bengkak karena asam urat. Fares mengelus-elusnya dengan lembut karena bengkak asam urat tidak boleh diurut.
"Pak, gak usah minta maaf," kata Fares lembut. "Fares ngomel bukannya karena keberatan jagain Bapak. Fares cuma gak mau Bapak sakit. Karena kalau Bapak sakit kan, Bapak sendiri yang ngerasain gak enaknya. Fares gak bisa bantuin. Jadi, makanya Bapak gak boleh bikin diri sendiri sakit. Ya? Gak boleh bandel lagi," tandasnya begitu baik dan halus.
Mendengar penuturan sang anak, Pak Rama langsung terharu. Meskipun anaknya memang selalu bersikap demikian sejak dulu, rasa bangga dan haru Pak Rama selalu hadir setiap Fares memperlakukan dirinya begitu baik. Tak pernah mengeluh dan tak pernah ada kata lelah untuk mengurus dirinya yang sudah tak sempurna raga lagi.
"Iya, Nak. Makasih." Pak Rama menatap lekat.
"Iya, Pak. Sama-sama." Fares tersenyum kecil.
🌼🍂🌼🍂
Diana sedang berada di rumah, tepatnya di dalam kamarnya. Mengecek pekerjaan-pekerjaan para mahasiswa untuk ia beri nilai kemudian. Sesekali, Diana mengerjap-ngerjapkan kedua mata yang dirasa sudah perih dan lelah. Namun, pekerjaannya belum bisa ia tinggalkan.
Tiba-tiba, Pak Dirgan, ayahnya masuk ke kamar. Kebetulan, Diana tak mengunci pintu memang.
"Na," panggil Pak Dirgan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ASEXUAL WIFE ✔️
RomanceDiana tidak tertarik baik pada lawan jenis atau sesama jenis. Apalagi kepada yang lebih muda, makin tidak berminat tentu saja. Hingga menginjak usia 32 tahun dan bekerja sebagai dosen pun masih tak ada minat pada asmara. Namun suatu ketika karena su...