Cieee, sudah tersenyum-senyum, tidak kesal-kesal lagi. Ada sih, sedikit. Tapi sudah bisa dilawan. Sedikit.
Si Cimit yang sebentar lagi menjadi ayah itu sedang tersenyum semringah setelah mengabarkan kehamilan istrinya kepada Pak Rama, bapaknya.
"Apa Bapak bilang," kata Pak Rama setelah tertawa-tiwi.
"Apaan, Pak? Emang Bapak bilang apa?"
"Waktu itu tuh Bapak udah mengira-ngira." Pak Rama malah menggosok-gosok dagu sambil menatap ke atas, bukannya melanjutkan kalimatnya.
Fares mengerutkan dahinya. "Menggira-ngira apa, Pak? Bapak mah ngomongnya setengah-setengah... Fares males ah. Mau ke depan aja," keluhnya sambil berdiri dari kursi.
Pak Rama menahan tangan anaknya, "Heh... kamu, tuh. Duduk, duduk. Sensitif banget kayak tespek!"
Fares merengut.
"Jangan kayak gitu mukanya!" Pak Rama menggosok wajah Fares.
Si anak lantas menghela napas. Sadar akan dirinya yang harus mengontrol emosi, tidak ingin sindrom menjengkelkan ini semakin parah.
"Iya, Pak. Maaf," ucapnya pelan.
"Dulu tuh, Bapak kayak kamu juga, tapi pas Bunda hamil adekmu, Fariza. Kalau pas hamil kamu, enggak, Bapak biasa aja. Tapi pas Fariza, gini nih, kek kamu. Mabuk perjalanan di mana-mana."
Fares tercengang. Ternyata bukan hanya dirinya yang mengalami sindrom tak masuk akal ini?
"Masa, Pak? Terus, terus? Gimana biar gak kayak gini lagi? Fares capek banget...," ujarnya dengan tampang memelas.
"Capek apaan?"
"Capek muntah...." Masih memelas.
Pak Rama kemudian mengingat-ingat. "Hmm. Tapi kamu aneh, Res. Dulu Bapak setelah tau Bunda hamil baru ikut-ikutan ngidam gak jelas. Kamu, sebelum tau Diana hamil udah ngidam duluan."
"Fares indigo kali, Pak. Bisa ngeramal."
"Apaan." Pak Rama menatap malas.
Kemudian kedua lelaki itu menghela napas bersama, sebelum si Bapak menatap anaknya lagi. "Kamu pokoknya jangan stres, jangan banyak pikiran. Rileks aja, santai gitu. Terus banyakin jalan-jalan deh sama istri kamu, atau ya... mesra-mesraan misalnya, biar makin saling sayang, terus biar gak bete. Soalnya kalau banyak stres, biasanya memicu eneg." Pak Rama memberi nasihat.
Fares mengangguk-angguk sambil berpikir-pikir. Lalu, ada jeda sedikit sebab keduanya sama-sama diam.
"Kamu udah lama gak main atau nongkrong sama temen-temen kamu," ucap Pak Rama lagi.
Fares menatap agak ke atas, menyadari hal itu terjadi setelah dirinya menikah. Ia tersenyum agak getir.
Ya, setelah menikah, Fares langsung lupa pada dunianya, bahkan pada dirinya sendiri. Semuanya jadi teralihkan. Kenapa?
Setelah malam itu, malam dimana Diana menolak untuk tidur dengannya di ranjang yang sama. Di saat itu juga, Fares merasa hidupnya akan segera dirundung banyak kesedihan dan kekecewaan. Dan ternyata benar.
Dia lupa, dia lupa semuanya. Dia lupa memikirkan dirinya, dia hanya memikirkan bagaimana supaya Diana bisa menerimanya. Dia lupa membahagiakan dirinya, dia hanya memikirkan bagaimana supaya Diana bisa bahagia dengan dirinya. Dia lupa dengan kesenangan dan kesukaannya, dia hanya memikirkan bagaimana supaya Diana bisa menganggapnya.
Seolah hidup di dunia yang baru, pikiran Fares hanya dipenuhi dengan bagaimana supaya Diana bisa mencintainya. Tidak, bukan dicintai. Harapan Fares dulu hanya sekadar untuk dihargai. Membuat lelaki itu tak punya keinginan lain selain membuat Diana dapat menatapnya lekat dengan wajah yang ramah. Bukan raut dingin tidak berminat yang selalu menyesakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ASEXUAL WIFE ✔️
RomanceDiana tidak tertarik baik pada lawan jenis atau sesama jenis. Apalagi kepada yang lebih muda, makin tidak berminat tentu saja. Hingga menginjak usia 32 tahun dan bekerja sebagai dosen pun masih tak ada minat pada asmara. Namun suatu ketika karena su...