30. Pilihan

223 66 36
                                    

***

Dita mengerjapkan matanya perlahan, menatap sekeliling ruangan bernuansa putih dengan aroma obat-obatan yang sangat dirinya kenali. Rumah sakit.


Yah, lagi-lagi dirinya harus berada disini.

Dita hendak mengucek matanya yang terasa berat, namun sesuatu yang berat membuatnya menoleh dan mendapati anak bujangnya tengah terlelap sembari menggenggam tangannya.

"Kalau bukan anak ku, udah pasti baper aku." Dita membiarkan saja tangannya digenggam oleh anaknya, itung-itung pengganti Tomy yang jarang sekali menggenggam tangannya seerat ini. Menjengkelkan memang.

Setelah beberapa waktu ia menahan kram ditangannya, bujangan blangsak yang notabene nya anak kandungnya, pun terbangun dengan sangat aestetik.

"Ya ampun, naksir anak sendiri boleh gak, sih?"

Adib mengucek matanya perlahan, sembari menguap dan menegakkan badannya. Netranya beralih ke arah brankar yang berisi mama bolo-bolonya.

Dita terciduk tengah memandanginya dengan tatapan yang ahh- tidak bisa Adib herankan. Kebiasaan Dita memang seperti ini, alay.

Dita selalu menyalahkan dirinya, mengapa dirinya ini menjadi anaknya, bukan kekasihnya saja? Gila memang.

Biarlah dirinya terkutuk karena mengatai sumber surganya gila, tapi ini memang faktanya.

"Ma, udah ngapa. Mingkem." Adib tak dihiraukan, ia menepuk nyamuk yang berada ditelapak tangannya, hampir saja nyamuk mati itu masuk ke mulut Dita, sayangnya keburu mingkem.

"KURANG AJAR LO! EH KAMU!!!!!!!" umpat Dita, sifat menyebalkan dari Tomy ternyata turun menurun ke anak cucu, sialan.

"Ya mama melompong mulu."

Membiarkan Dita misuh-misuh akan dirinya, ia memilih mengambil apel di meja. Kembali duduk sembari mengupas apel kemudian dipotongnya.

Sementara Dita menyudahi acara misuhnya, tersenyum melihat anak gantengnya ini begitu pengertian pada dirinya, sampai-sampai dikupaskan apel begitu. Duh, Dita jadi salting.

Ia membuka mulutnya lebar-lebar, bersiap menerima suapan pertama dari sang anak. Saking menghayatinya dirinya sampai memejamkan matanya rapat-rapat. Beberapa detik, menit, jam, tahun, abad, masehi, hijriyah telah berlalu.

Namun naasnya, apel lejat dan bergiji itu tak kunjung menyapa mulutnya. Malahan pendengarannya terusik oleh suara kunyahan yang terdengar sangat menggiurkan bagi siapapun yang mendengarnya.

Sesegera mungkin ia melebarkan matanya, hingga pandangannya terisi pemandangan Adib yang tengah makan apel dengan khidmat.

"JAHANNAM LO!!!!!"

***

"Caca mana?" tanya Dita usai bercakap via telepon dengan suami tercinta. Adib yang tengah bermain game di ponselnya tak mendengar dan memilih acuh.

"Heh bolot, mama tanya Caca mana?!" Barulah Adib mendengarnya, namun hanya ia balas dengan menaikkan bahu acuh.

"Kan kamu tadi lagi nyari? Kok gak tau?" tanya Dita lagi, perasaan khawatir kepada Caca kembali hadir. "Dimana, Dib?" tanyanya lagi.

Why Suddenly Falling Love? (Tidak Dilanjutkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang