18. Babu

381 80 77
                                    

"Begini, ya, rasanya kehilangan? Ternyata begitu teramat menyakitkan."

***

Kala subuh ini, dimana biasanya Caca melanjutkan bergelut dengan bantal setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslim, tapi sepertinya itu tidak untuk sekarang. Karena....

"Bangun! Anak gadis jam segini belum bangun!" ucap nyai Rara seraya menyiramkan air dingin ke wajah Caca. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi, udaranya masih begitu dingin, tapi nyai Rara malah menyiram Caca dengan air dingin.

"AAAAAKK!! DINGIIINN!" Caca menjerit kaget, pasalnya ini memang sangatlah dingin.

"Bagus ya, kamu enak-enak tidur lagi! Masak sana, nyapu, ngepel, cuci piring!" ucap nyai Rara tegas, namun sesekali tangannya menampar keras bahu Caca membuatnya mengaduh.

"Ampun eyang! Iya, Caca bangun kok!" Caca berusaha menahan tangan Rara.

"Sshh.. Apaan sih, pagi-pagi gini ribut," ucap Adib yang baru saja bangun dengan suara serak.

Adib memang tidur seranjang dengan Caca, itu suruhan mama Dita yang kemarin malam mencak-mencak karena Caca ngunciin Adib diluar.

Plakk..

Nyai Rara menampar pipi Caca, "Karna suara brisik kamu! Adib, cucu saya jadi bangun!" Kemudian Rara menampar pipi sebelah Caca.

"Awwhh.. T-tapi kan eyang juga berisik?" Caca ditampar lagi, mungkin pipinya kini bakal terlihat sedikit lebam.

"Adib, kamu tidur aja ya. Udah gak apa-apa, maaf ya anak pungutnya ganggu kamu." Rara berkata begitu lembutnya.

"Aww.." ringis Caca, tangannya ditarik asal membuatnya sedikit terpelintir dan terasa nyeri. Nyai Rara menariknya keluar kamar.

Adib hanya diam menatap tak minat, dirinya tidak peduli, tak ingin ikut campur. "Nasib jadi benda pungutan," gumamnya.

Sementara Caca yang masih terkantuk, berjalan terseok mengikuti seretan Rara. "Ini, cuci sekarang juga!" Rara menunjuk tumpukkan piring kotor di wastafel. Tak ingin kena omel, Caca segera mencucinya.

Setelah beberapa waktu, cucian puringnya kian menyusut, Caca bernapas lega, sudah hampir selesai. Namun...

Caca melihat Rara mengambil beberapa piring dan gelas bersih, lalu disiramnya dengan sayur sup kemarin, kemudian diserahkannya ke Caca.

"Nyai Rara itu kan bersi—

Plakk..

Lagi, dan lagi.

Caca memang pernah ditampar, tapi tak sebanyak kali ini.

"Suka-suka saya dong! Buruan beresin, sebentar lagi kamu harus bersiap sekolah, dan, saya pengin kamu itu anak pinter seperti cucu saya, buat apa mungut sesuatu kalau tidak ada kelebihannya?"

Caca tersenyum getir.

Pungutan, ya?

***

Unknown
Let's meet with me!

Ada kejutan!!! Jln. Sakit hati nomer xxxxxxx

Why Suddenly Falling Love? (Tidak Dilanjutkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang