"Banyak orang baik, tapi tak banyak yang bisa membuat nyaman"
(Nana-Fira)
♡♡♡
Jeder!
Bagai tersambar petir di siang bolong. Nana langsung terdiam seribu bahasa. Lengkap sudah penderitaan Nana mulai beberapa menit kedepan.
"Huwaaa ... Ayah! Nana mau pulang gak jadi mondok aja."
Ayah Nana langsung berjingkat kaget karena Nana tiba-tiba menangis keras sambil menggoncang-goncangkan lengan ayahnya.
"Nana, Nana sudah besar, Nak. Malu itu nangis diliatin santri-santri di sini. Itu tuh ... liat malahan ada yang masih kecil banget. Malu dong sama badan, udah mau kuliah udah jadi atlet profesional. Masa pisah sama HP aja nangis?" celetuk Pak RT.
"Biarin! Nana masih kecil juga," bela Nana.
"Udah Nana masuk. Nanti Ayah bawakan HP Nana kalau Ayah jenguk Nana. Oke? Putri Ayah kan, hebat!"
"Tapi nanti kalau ada info dari klub-klubnya Nana, gimana? Trus pemberitahuan dari kampus juga gimana?"
"Nanti Ayah yang akan urus! Lagian bulan puasa kan semua kegiatan libur, tak terkecuali voli. Dan info lebih lanjut dari kampus juga setelah lebaran."
"Ih ... Ayah kok tau! Ayah ngintip HP Nana, ya?" Nana malah menuduh ayahnya mengintip.
"Iya Ayah mengintip jadwal Nana. Tapi di papan mading di kamar Nana bukan di HP," jawab ayah Nana.
"Yah ... gak bisa buat alasan deh!" gerutu Nana yang hanya ditanggapi tawa geli dari Pak RT dan ayahnya.
***
Nana termenung sendiri di kamar yang telah disediakan. Ayahnya sudah pulang setengah jam yang lalu, Nana mau nangis tapi malu. Mau kabur tapi belum ada satu jam. Nana bingung, pakaian dan barang bawaannya belum ada yang ditata dalam lemari. Teman satu kamarnya juga belum datang yang menambah suasana jadi sepi.
Setelah Nana perhatikan ternyata ruangan ini cukup luas dari pada pesantren yang pernah Nana singgahi dulu. Dindingnya bercat hijau muda terang, berhiaskan Asmaul Husna yang mengelilingi bagian atas.
Lalu ada foto seorang Kyai yang sudah tua dengan tulisan "Syeikh Muhammad Badrus Salam Musthofa, pendiri pondok pesantren Fathul Munawwir" Nana yakin itu adalah pendiri pondok pesantren ini. Berarti nama pesantrennya Fathul Munawwir.
Hiasan-hiasan lainnya berupa kaligrafi arab. Sangat berbeda dengan kamar Nana di rumah. Semua hiasan dindingnya adalah poster para atlet voli Nasional sampai Internasional.
Setiap kali ayah Nana memasang hiasan ayat kursi atau surat yasin, pasti akan hilang entah kemana setelah beberapa hari, dan berganti poster-poster lagi.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar kamar dengan menyembulkan sedikit kepalanya.
"Waalaikumsalam, siapa ya? Eh, silahkan masuk!" Nana hampir lupa jika kamar ini bukan miliknya seorang.
"Iya, Mbak. Terima kasih," ucapnya sambil tersenyum manis.
Gadis manis yang kira-kira seumuran dengan Nana itu masuk dengan membawa satu tas selempang kecil ala gadis pada umumnya dan satu tas jinjing besar.
"Kamu mondok mengkilat juga, ya?" tanya Nana, yang langsung membuat gadis di depannya itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha ... kok mengkilat sih, Mbak!"
"Lah ... emang iya kan?"
"Hhhh ... bukan mengkilat Mbak, tapi kilatan," jelas gadis itu masih menahan tawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempena 30 (END)
Teen FictionKehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...