"Terpaksa dulu tidak apa-apa
Lama-lama juga akan terbiasa"(Althaf)
♡♡♡
Dung! Dung!
"Allahu Akbar ... Allahu Akbar"
Kumandang azan salat Subuh mengalun indah di telinga para pendengarnya. Makhluk-makhluk yang semula tidur nyenyak pun terbangun, bagaikan sebuah seruan langsung dari Sang Khaliq.
Daun-daun saling bergesakan ikut berzikir mengagungkan Sang Pemilik Buana. Angin segar berhembus meresap kedalam seluruh indera para insan.
Diruangan bernuansa hijau sejuk, terdengar bunyi nyaring berkali-kali berdering dari benda kecil di samping gadis berparas ayu yang kini tengah tertidur lelap, damai dan terbuai dalam dunia bawah sadarnya. Tak terusik sedikitpun walau sudah berkali-kali benda kecil nan mungil itu mengusiknya.
"Masyaallah ... bangun, Jang. Azan udah selesai tuh. Cepetan bangun!" teriak seorang gadis lainnya yang berusaha membangunkan sang penikmat mimpi.
"Kagak bangun ... gak akan aku temenin nanti belajar ngaji sama Ustaz Althaf. 1 ... 2 ...."
"Iya bangun. Bangun ... bangun ... bangun!" Nana, Sang Penikmat Mimpi terbangun dari dunia fantasinya.
"Cepet buka mata, terus ambil wudu. Aku udah selesai salat sunnah tadi. Jadi kamu pergi wudu sana! Aku tunggu di sini, awas jalan buka tuh mata jangan merem mulu," titah Fira, Sang Alarm ampuh Nana.
"Iya. Ini mata aku ada lemnya yah? Kok gak bisa kebuka gini?" tanya Nana dengan mata tertutup bahkan suaranya mengecil diakhir, tanda-tanda bahwa nyawa belum terkumpul sepenuhnya.
"Lagian kalau malem tuh tidur, jangan meratapi nasib yang emang gak berpihak sama kamu. Mau bagaimanapun kamu menghindar, kalau udah takdir ya gak bisa kemana-mana lagi."
"Njih, Bu Ustaz!"
"Ustazah. Aku masih berkerudung dan tidak berdada rata," jawab Fira sekenanya.
"Hm!" Nana berlalu pergi dari kamar menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.
Setelah makan saur, Nana pergi tidur lagi. Sedangkan Fira menunggu salat Subuh dengan melakukan beberapa salat sunnah dan membaca Alquran.
Waktu makan tadi Nana nangis karena ingat ayahnya di rumah. Bahkan jatah nasinya hanya dimakan beberapa sendok saja. Nafsu makannya hilang. Biasanya puasa seperti ini ayahnya akan membuatkan berbagai macam lauk kesukaan Nana, supaya Nana tetap lahap makannya.
Dilain tempat keadaan ayah Nana tak jauh berbeda dengan keadaan Nana, tetapi ayahnya tersenyum bahagia. Dia rela Ramadan kali ini kesepian dan sendirian di rumah. Karena Nana pergi untuk menuntut ilmu di pesantren, yang selama ini menjadi keinginannya bersama mendiang istrinya.
Di sepanjang jalan Nana tak henti-hentinya menguap, dengan langkah lesunya Nana berjalan seperti seseorang yang kehilangan setengah nyawanya. Nana sedikit merasa aneh karena semenjak Nana keluar dari kamar, Nana menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang dilewatinya.
"Maaf, Mbak. Ini area berjilbab jadi walau tidak terlihat santri putra tetap harus mengenakan jilbab," ujar salah satu santri putri mengingatkan Nana.
Nana yang masih mengantuk, terlihat linglung dengan perkataan santri putri itu. Dia hanya berdiri mematung dengan wajah bingungnya.
"Woy, Jang. Main pergi aja! Ini jilbab kamu ketinggalan," teriak Fira menyembulkan kepalanya dari pintu gedung kamarnya dengan mengibar-ngibarkan hijab milik Nana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sempena 30 (END)
Teen FictionKehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...