BAB VIII

91 14 5
                                        

"Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi maka senangilah apa yang terjadi"

(Ali bin Abi Thalib

♡♡♡

Semilir udara sejuk di pagi hari begitu menenangkan. Bersama Sang Baskara yang begitu gagah berani menampakkan dirinya menerangi semesta alam.
Membangkitkan buntara yang mulai memudar. Wajah-wajah berseri begitu elok bersinar, siap menapak sampai sang Baskara tenggelam dalam kegelapan.

Tetapi ada apa dengan gadis berjilbab abu-abu yang kini malah menatap malas kitab di pangkuannya? Wajah yang ditekuk dan bibir tipisnya mengerucut. Mata yang memerah dan juga sembab.

"Nana mau pulang, hiks," ucap gadis berjilbab abu-abu yang ternyata Nana.

"Mata kamu itu udah gak bisa kebuka, mau sampai kapan kamu terus nangis?" tanya Fira lembut.

Tidak seperti biasanya yang selalu beradu mulut dengan Nana. Fira tahu suasana hati Nana sedang tidak bagus hari ini. Setelah mengaji bakda subuh Nana menangis karena rindu ayahnya. Dan yang terpenting rindu bolanya.

"Hiks ... Nana gak mau ngaji. Nana mau pulang. Nana mau Ayah. Hiks ...." Manja Nana mulai keluar.

Padadal selama ini sifat manjanya hanya keluar ketika sedang bersama ayahnya. Di lapangan Nana terkenal dengan kegarangannya. Sifat berani dan tegas, melekat di dalam diri Nana. Berbeda jauh dengan tingkah jailnya ketika di luar garis berbentuk persegi panjang itu.

"Ya gak bisa dong, Na. Nanti aku bantuin hafalan deh buat setoran nanti malam, satu surat gak papa kok. Trus aku ambilin nasi yang banyak, gimana?" bujuk Fira.

Bahkan panggilan yang digunakan nama asli bukan Bajang seperti biasanya.

"Gak mau! Maunya Ayah!"

"Ya Allah! Anak siapa sih ini. Gini nih ternyata sifat aslinya. Badan aja gede dah mau kuliah juga. Sifatnya masih kayak bocah. Dah kayak emak-emak yang bujuk anaknya kan kalau gini," gerutu Fira dalam hati.

Ini adalah hari ketiga atau puasa kedua Nana di pesantren, tiba-tiba setelah selesai mengaji Nana teringat ayah dan bola-bola voli miliknya. Tangannya sudah gatal karena sudah tiga hari Nana tidak menyentuh bola voli kesayangannya itu.

"Sini deh ku kasih tau. Orang yang susah, sedih, gundah, marah dan sebagainya itu bisa sembuh ketika dibasuh dengan air wudu, kemudian salat dan berdoa kepada Allah. Meminta ketenangan agar hati kita tentram. Mengadulah pada-Nya, sebentar lagi salat Duha, ayo kita salat! Bisa jadi setan sudah meracuni pikiran dan hatimu agar kamu tidak betah di sini. Apakah kamu tega pada ayahmu?" Fira masih berusaha membujuk Nana lagi.

Tangis Nana mulai mereda. Hati Nana sedikit tenang dan terbuka mendengar ucapan Fira. Seperti pelangi yang muncul setelah hujan. Nana menganggukkan kepalanya mengiyakan perkataan Fira.

Fira menghela napas pelan, bersyukur karena Nana masih mau mendengar kata-katanya. Sudah menjadi tugasnya untuk menghibur Nana. Karena Fira tahu hati Nana belum menerima sepenuhnya berada di pesantren.

***

"Ya Allah, Nana tau kekurangan Nana. Tapi sangat berat, Ya Allah. Nana tidak bisa jauh dari Ayah. Tapi Nana juga tau kalau kali ini Nana pulang seperti dulu-dulu lagi pasti Ayah akan kecewa. Tolong Nana, Ya Allah. Tolong kuatkan Nana,  beri Nana kemudahan dan tenangkan hati Nana. Meski Nana belum tau apa tujuan Ayah yang begitu ingin Nana menyantri tapi Nana yakin, pasti suatu saat nanti ada kebaikan buat diri Nana. Ampuni dosa Nana dan dosa kedua orang tua Nana, Ya Allah. Amiin." Nana berdoa dengan khusyuk.

Sempena 30 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang