BAB XVII

84 15 8
                                    

Aku mengagumimu bagai pungguk yang merindukan bulan
Kau begitu jauh dalam jangkauan

Aku hanya sebuah butiran dari banyaknya debu
Menatap sayu dirimu yang tak kunjung menjamu
Angin yang membisu seperti tak ingin ikut merindu
Menyadarkanku akan jauhnya dirimu

Senyummu selalu terbayang
Menghantui setiap langkah yang tak seberapa panjang

Wahai engkau sang pujaan hati
Tau kah engkau ada aku di sini?

Aku yang mencintaimu dalam diam
Menahan rindu yang kian tak teredam
Menyapamu dalam gelapnya malam
Mengukir namamu dalam setiap kalam

Kucukupkan perasaanku dan ceritaku tentangmu
Hanya Tuhanlah yang ku ingin tahu
Tentang apa dan bagaimana rasaku tumbuh menggebu
Bahagiaku cukuplah dengan menyebutkan namamu
Terselip indah dalam kalbu di setiap doaku

|[Hamba Allah]|

♡♡♡

Rintik hujan kembali manyapa pagi, mentari tak sampai menepati janji, tergantikan sang awan tebal yang mengintai. Suara kecipak air hujan bagai musik yang bernyanyi. Bersenandung seperti tak ingin pergi.

Walau sang mentari bersedih tak bisa menepati janji, namun dirinya tak akan menyalahkan kuasa Sang Illahi, mungkin sudah waktunya ia undur diri, bergantikan awan yang sudah menanti.

"Kenapa sih akhir-akhir ini sering hujan kalau pagi?" gerutu seseorang dengan kitab dipelukannya.

"Ini nikmat! Wajib di syukuri," jawab seseorang di sampingnya.

"Iya bersyukur. Tapi kenapa hujannya pas mau berangkat ngaji?"

"Ya itu sudah kehendak Allah. Menguji kita-kita ini masihkan mau berjuang atau tidak."

"Alhamdulillah ... ternyata aku termasuk golongan orang-orang yang berjuang."

"Pretttttt!"

Terlihat seorang pemuda tampan dengan kopyah hitam dan baju koko berwarna ungunya berlari menembus rintik hujan. Berlindung di bawah sorbannya agar kitab dalam pelukannya tidak terkena air hujan.

Saat sampai di ruangan napasnya memburu. Mengibaskan sorbannya yang basah karena air hujan. Saat akan mendudukkan dirinya pada tempat yang telah disediakan, tiba-tiba suara dentuman keras dari luar terdengar nyaring.

Buagh!

"AKHHH ...!!!"

"Tolong ...!!!"

"Panggil pengurus. Cepat!"

Suara-suara teriakan panik bercampur menjadi satu. Para santri dalam ruangan berhamburan keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Ustaz Althaf, seseorang yang berteduh dalam sorban tadi, masih diam dalam tempatnya. Kejadian kilas balik masa lalu tiba-tiba memenuhi kepalanya.

Suara bising kendaraan dan orang-orang yang berteriak panik, seperti kaset rusak yang berputar tak beraturan menampilkan kejadian di masa lalu.

Tangannya gemetar, jantungnya berdetak tak beraturan napasnya sesak, keringat dingin mulai menapaki wajah bersihnya. Matanya menatap tidak fokus ke segala arah.

"Ustaz! Tolong ada santri yang bertabrakan saat berlari. Yang satunya pingsan, para pengurus sudah mengaji dengan Pak Kyai tidak ada orang lain lagi di sini."
Suara seseorang membuyarkan lamunannya.

Dengan sedikit tertatih dia berdiri, karena bagaimana pun dia orang yang dituakan di sini.

Banyak santri berkerumun untuk menolong temannya. Mungkin karena terlalu kencang berlari dan juga jalanan yang licin disertai hujan yang sedikit deras, jarak pandang keduanya jadi sedikit terganggu sehingga terjadilah saling menabrak.

Sempena 30 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang