"Voli dan Ayah adalah hidupku. Bunda adalah semangatku."
(Nana)♡♡♡
"Yak ... yak ... sippp. Yok ... Yok ... smash. Ahhh ... gak kena!"
Terlihat seorang gadis duduk bersila di depan televisi tuanya dengan wajah yang serius dan tegang. Sesekali meremas wadah cemilan dipelukannya, atau tiba-tiba berteriak heboh.
"Ayah ... Ayah ... tolong benerin antena TV-nya, Yah!"
"Iya, Nduk. Ini juga lagi Ayah benerin. Nanti kalau udah bening bilango, ya."
"Stop. Udah Yah ... cepetan sini Indonesia ketinggalan point nih, tadi nyemash masih bisa ditahan ama Vietnam, tuh."
"Lah ... lah! Udahan? Aduh ... kalah beneran, nih?"
"Hhhh ... gak papa, Nduk. Namanya juga kompetisi itu pasti ada yang menang dan yang kalah. Mungkin Indonesia kali ini memang kalah tapi suatu saat nanti pasti bisa menang."
"Ya ... suatu saat nanti Nana bakalan ikut Timnas Volly dan mengharumkan nama bangsa."
"Amiin ... yang penting semua karena Allah ya, Nduk."
"Iya, Ayah."
Hafiza Hazna Nabeela, atau akrab dipanggil Nana. Seorang gadis periang, tinggi semampai. Bercita-cita menjadi atlet voli yang bisa mengharumkan nama bangsa dan membahagiakan ayahnya.
Diberi nama Hafiza karena orang tuanya berharap kelak anaknya menjadi seorang Hafizah atau penghafal Alquran. Belajar di pondok pesantren dan menjadi muslimah yang cantik dan anggun. Taat beragama dan pandai mengaji. Yah, itu adalah harapan atau doa dari orang tua ketika memberi nama anaknya.
"Sini bentar, Nduk. Ayah mau ngobrol," ucap ayah Nana setelah mematikan televisinya.
"Apaan, Yah? Mau daftarin Nana di club voli lagi ya? Club yang mana, Yah?" tanya Nana antusias.
Ayah Nana tersenyum menanggapi putrinya. Nana memang sangat menyukai olahraga terutama voli. Dari kecil Nana sudah menggandrungi olahraga voli. Bahkan dari sekolah TK setiap melihat bola bercorak kuning biru itu matanya selalu berbinar-binar. Setiap sore Nana dengan semangat mengajak ayahnya pergi ke lapangan desa untuk melihat anak-anak desa bermain voli.
"Bukan, Nduk. Ayah hanya mau menawarkan sesuatu ..." ucap ayah Nana menggantung.
Nana sendiri sudah waswas dan menerka apa yang akan disampaikan ayahnya ini.
"Ini kan sebentar lagi bulan Ramadan, dan Nana juga sedang tidak sekolah karena tinggal menunggu masuk Universitas setelah Lebaran. Nana gak mau to, misalkan Ramadan ini Nana ikut ngaji di pesantren?" lanjut ayah Nana dengan penuh harap.
"Emmm ... Ayah masih pengen banget ya, Nana pergi mondok?" tanya Nana.
"Ya. Ayah selalu berharap Nana mau mondok. Itu cita-cita Ayah dan mendiang Bundanya Nana. Kami sangat ingin Nana menjadi wanita salihah dan mengerti agama. Karena Ayah sama Bundanya Nana itu orang awam, Nak. Bisanya cuma salat dan mengaji juga tidak lancar," ucap ayah Nana masih dengan senyumam yang tak hilang dari bibirnya.
Nana dan ayahnya hanya tinggal berdua. Ibunya meninggal beberapa hari setelah melahirkan Nana, tetapi ayahnya memutuskan untuk tidak menikah lagi dan fokus untuk membesarkan Nana dan mengelola warung baksonya.
"Iya, Yah. Nana tau, cuman Nana bener-bener gak bisa. Ayah sendiri ingat kan? Dulu waktu lulus SD Nana Ayah kirim ke pesantren. Dan apa hasilnya coba? Nana nangis kejer sehari semalam sampai pingsan. Trus waktu masuk SMA juga, Nana kabur dan hilang hampir dua hari karena gak tau jalan pulang," ujar Nana.
Memang benar, karena saking inginnya ayah Nana memasukkan anaknya ke pesantren, Nana di kirim beberapa kali ke pesantren tetapi selalu berakhir dengan kegagalan. Tetapi semua itu tidak pernah menyurutkan keinginan ayah Nana untuk memondokkan anaknya.
Ayah Nana selalu berharap suatu saat nanti Nana bisa belajar di pesantren. Mengaji kitab-kitab klasik dan menghafal Alquran.
"Iya. Ayah ingat. Ayah memang tidak memaksakan kehendak Ayah ini. Semua Ayah serahkan pada Nana saja," putus ayah Nana yang sedikit menampilkan wajah sedihnya.
"Maafin Nana, Yah. Karena Nana belum bisa bahagiain Ayah," lirih Nana dengan mata yang mulai berair diujungnya.
"Ssttt ... tidak apa-apa. Ayah bahagia jika Nana juga bahagia. Yang penting salatnya jangan sampai ketinggalan. Udah, jangan nangis. Ayah gak papa. Nana harus siap-siap, kan? Besok klub voli kamu tanding sama desa sebelah katanya?" ucap ayah Nana untuk mengalihkan topik.
"Wahhh ... iya besok Nana tanding. Doain ya, Yah," tanggap Nana antusias.
"Pasti, Sayang." Ayah Nana memelunya dengan erat dan mengecup puncak kepalanya.
Medali dan piala berjajar rapi di lemari kaca sebelah televisi. Di sebelahnya lagi banyak bola voli dari beragam jenis yang sengaja Nana tata rapi di rak. Baginya bola voli adalah sahabatnya, dikala sedih atau senang bola voli yang menjadi pelariannya.
Ayah Nana tersenyum kala ingat putrinya ini begitu banyak memberikan kebanggaan kepadanya. Selain bidang olahraga bidang akademik Nana juga bagus. Nana lulus seleksi penerima beasiswa di kampus ternama calon Nana akan kuliah nanti. Tinggi badannya yang ideal juga Nana dapatkan dari kegiatan volinya yang dia gandrungi sejak kecil.
"Ayah, besok pagi sebelum Nana berangkat tanding sungkem dulu ke makam bunda, ya?" pinta Nana Kepada ayahnya.
"Iya, Sayang. Besok pagi-pagi sekali kita ke makam Bunda," ucap ayah Nana.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum, Pak Haris." Terdengar seseorang mengetuk pintu rumah Nana.
"Walaikumsalam, Pak RT. Silahkan masuk, Pak," jawab ayah Nana.
"Oh, tidak usah. Ini ada brosur pesantren kilatan dari pesantren kota sebelah. Siapa tau Nana berminat. Tadi kebetulan saya lewat sini jadi sekalian," ucap Pak RT.
"Masyaallah, terima kasih banyak Pak RT. Monggo pinarak (silahkan masuk) dulu," ucap ayah Nana mempersilahkan Pak RT masuk.
"Tidak usah, Pak Haris terima kasih dan saya mau undur diri dulu. Tadi mau ke rumah Pak RW. Assalamualaikum," pamit Pak RT dan pergi dari rumah ayah Nana.
Mata ayah Nana berkaca-kaca memegang brosur itu. Ayah Nana sangat ingin putrinya belajar mengaji di pesantren walau hanya sebentar. Tapi teringat pembicaraan dengan Nana tadi sepertinya Nana belum mau pergi ke pesantren. Ayah Nana hanya berdoa semoga kelak cucu-cucunya ada yang mondok di pesantren.
Nana yang melihat punggung ayahnya bergetar menjadi iba, hatinya sakit. Pemilik punggung itu yang telah membesarkannya, menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuknya. Bekerja keras demi dirinya. Tidak pernah sekalipun ayahnya memaksakan kehendaknya.
Nana kemudian pergi dari sana dan masuk ke kamarnya. Merenung apakah Nana setega itu menenggelamkan harapan ayahnya. Ayahnya hanya ingin Nana belajar mengaji di pesantren selama bulan Ramadan, itu saja. Tapi apakah Nana sendiri juga sanggup berpisah dengan ayahnya dan volinya. Entahlah, Nana akan memutuskan setelah selesai tanding voli besok. Lagi pula puasanya juga masih kurang seminggu lagi, masih banyak waktu untuk berfikir.
***
"Ayah ... cepetan! Nanti keburu siang. Ayah!" teriak Nana yang sudah siap di depan rumah dengan motor maticnya.
"Ayah ...!" teriaknya lagi."Iya-iya, Ayah masih cari peci Ayah ini!" ahut ayahnya dari dalam.
"Peci ada digantungan deket lemari bola, Yah," teriak Nana memberitahu letak peci ayahnya.
Ayah Nana lari tergopoh-gopoh dari dalam rumah sambil memakai peci hitamnya.
"Loh ... jilbabnya mana Nana, kenapa gak dipakai?" tanya ayah Nana terkejut mendapati putrinya yang siap dan sudah memakai jersey volinya tetapi belum memakai hijab.
"Walah iya ... bentar, Yah. Nana lupa."
TBC
#menulis30hzukzezjabar
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempena 30 (END)
Teen FictionKehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...