Kehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...
"Tidak peduli bagaimana dirimu Sahabat sejati akan selalu ada untukmu"
(Nana)
♡♡♡
Hanya senja yang tau cara berpamitan dengan indah. Itulah pepatah yang sering kali orang ucapkan. Tetapi bagaimana jika senja sudah tak mau lagi berpamitan dengan keindahannya? Senja memang indah tetapi tidak ada yang abadi bukan?
Langit mendung dan awan hitam menutup keindahan sang bumantara. Warna cantik nan indah, pancaran cahayanya yang berkilau orange keemasan dengan gradasi ungu violet yang unik. Sang senja yang manis tidak mengucapkan perpisahan yang manis hari ini. Senja yang biasanya berpamitan dengan cara yang manis sekarang meninggalkan luka yang teriris.
Bedug masjid sudah berbunyi dari beberapa menit yang lalu, namun segelas kolak pisang yang mulai mendingin dan air putih yang melambai bak lautan ditengah gurun panas, terabaikan begitu saja di samping seorang gadis yang kini masih setia dengan renungannya.
Mata sembab yang memerah, wajah lusuh yang berjejak lelehan air mata. Menunjukkan betapa menyesal dirinya.
Teman atau bahkan lebih, tak kunjung kembali ke kamar setelah kepergiannya tadi siang. Hatinya kecewa, kecewa pada dirinya sendiri. Di mana kesadarannya selama ini? Hati dan pikirannya tertutup keegoisan. Menimbulkan luka yang menganga dalam.
Jika berbuka puasa adalah hal yang paling ditunggu, sekarang tidak lagi. Hal yang paling ditunggu adalah sang pencerah hatinya, yang membuka kabut tebal yang selama ini menyelimuti hatinya. Sudah cukup baginya untuk merenungkan perkataannya. Hatinya pilu dan perih bagaikan teriris sembilu.
"Segeralah berbuka! Sunnah hukumnya." Suara yang sangat dinantikannya kini masuk mengetuk gendang telinganya.
Kepala yang sedari tadi terus menunduk itu, dengan pelan mulai terangkat. Ditemuinya wajah cantik nan manis itu dihadapannya. Wajah dinginnya masih terpatri di sana, namun pandangan kecewa yang tadi siang dia lihat kini sudah tidak ada lagi, berganti dengan pandangan teduh yang menyejukkan.
"Fi-Fira ... hiks." Suaranya serak karena terlalu lama menangis.
"Berbukalah dulu! Kasian kolak dan air yang dari tadi terabaikan. Setelahnya mari kita makan, aku sudah mengambil nasi yang banyak. Ini wajib dihabiskan," ucapnya dengan tangan yang bergerak lincah menata nasi dan lauknya di piring.
"Maafkan, aku!"
"Ayo, cepat minum dulu!" Tanpa menghiraukan perkataan orang di depannya Fira menyodorkan segelas air putih pada orang itu.
"Berhentilah marah padaku, aku sudah merenungkan semuanya," lirih orang itu.