"Orang yang nampak kuat di luar belum tentu kuat juga di dalam"
(Althaf)
♡♡♡
Matahari tenggelam dengan tenang, bedug berkumandang menandakan datanya petang, jalanan masih basah karena air hujan yang menggenang, tak banyak kaki yang melintas lalu lalang, para insani menyibukkan diri dalam nikmatnya sembahyang.
Suara sendok berdenting menghilangkan kesunyian, suara yang biasa ia dengar tak lagi mengetuk gendang telinganya. Rasa nikmat dari hidangan yang biasa ia rasakan, kini terasa hambar karena kehilangan.
"Mbak Nana, ayo makan sama-sama di luar kamar, biar enak makannya dari pada sendirian," ajak salah seorang santri kilatan menengok ke arah kamar Nana.
"Emang gak papa, ikutan makan sama kalian?" tanya Nana.
Orang itu hanya tersenyum mendengar perkataan Nana yang menurutnya aneh. Tetapi mungkin Nana belum terbiasa akan hal seperti itu.
"Enggak, Mbak. Kita di sini sama-sama layaknya keluarga satu atap. Berbeda dengan kos-an, yang lebih memilih hidup sendiri-sendiri. Pesantren tempatnya membentuk sebuah keluarga baru bersama teman, walaupun tidak kenal sekali pun. Nah, jadi teman Mbak Nana bukan hanya Mbak Fira saja. Tetapi kami semua juga teman," ucapnya dengan wajah berseri.
"Hmmm, begitu! Baiklah aku ikut kalian makan." Nana beranjak dari dalam kamar untuk mengikuti orang itu makan di luar.
Selama ini Nana selalu makan di dalam kamarnya bersama Fira. Karena Nana mengira kalau makan di kamarnya sendiri-sendiri.
"Ternyata menyenangkan juga ya makan sama-sama kayak gini, jadi rame," ucap Nana bahagia.
"Iya, Mbak. Mbak Nana kalau makan coba keluar aja, kami makan di luar juga."
"Baiklah!"
"Kayaknya dia belum pernah mondok deh, kaku banget," bisik seseorang yang duduknya lumayan jauh tetapi masih bisa Nana dengar.
"Mbak Nana baru pertama kali mondok, ya?" tanya orang yang mengajak Nana tadi, sepertinya dia juga mendengar bisikan di belakangnya.
"Iya. Baru pertama kali. Makanya aku gak tau sama sekali dan selalu mengikuti Fira, karena dia teman pertamaku di sini."
"Oh, iya. Gak papa Mbak, belajar itu tidak ada telatnya. Umur Mbak berapa?"
"18 tahun. Saat ini aku sedang menunggu kuliah masuk."
"Wahhh ... kita samaan ternyata, tapi tinggi Mbak Nana gak main-main, ya. Hehehe ..." kekehnya mencoba mengajak Nana bergurau.
"Haha ... kamu kira aku umur berapa? Wajah masih imut gini kok. Aku itu tinggi karena olahraga, kamu kalau mau tinggi, olahraga sana biar gak pendek kaya si Fira," ucap Nana sambil tertawa.
"Mbak Nana bisa aja. Kalau udah dari sononya pendek ya tetep aja. Owh iya ... Mbak Fira belum pulang ya, kira-kira Ustaz Althaf dan Gus Kafi itu siapanya Mbak Fira, Mbak?"
"Ah ... kalau itu aku juga gak tau, baru tadi juga lihat mereka kaya gitu. Dan Fira juga gak cerita apa-apa."
"Owh ... begitu. Ya udah deh kita lanjut makan trus jamaah salat Maghrib."
"Oke."
***
Dilain tempat, tepatnya di ruangan bernuansa putih dengan beberapa selang dan alat monitor yang berdenting dalam jangka pendek. Seseorang berbaring menutup matanya dengan rapat, senyuman dan sifat jail yang selama ini selalu membersamainya telah redup dalam sosoknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sempena 30 (END)
Teen FictionKehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...