BAB XVI

80 12 2
                                        

"Masa lalu adalah guru bagi kita untuk menatap dan membangun masa depan"

(Nana)

♡♡♡


Mentari pagi tak pernah letih apalagi bosan untuk terbit di pagi hari, walau sesekali ia bersembunyi di balik awan yang tertata rapi. Begitulah seharusnya seorang insani terus memperbaiki diri, dan tetap menomor satukan sang Illahi.

Kaki-kaki suci menapaki ubin yang berjajar rapi. Warna-warni bunga bertebaran indah di hamparan kain putih, bagai taman bunga yang melambai-lambai.

Tangan-tangan menengadah melangitkan harapan yang ingin dicapai. Menenangkan hati yang gelisah agar lebih damai. Berserah, merendah kepada sang Illahi.

Awan begitu tenang berjalan di atas bumi, perlahan dengan pasti menutup senyum cerah sang baskara yang mulai menyinari.

Sesekali mengintip menampakkan diri, walau hanya sesaat seperti tak rela untuk undur diri dan kembali bersembunyi, atau mungkin ia malu menampakkan diri.

Langit yang membiru kini redup di pagi hari, dengan gembiranya angin mulai menghampiri, tetesan air hujan mulai berderai, mengundang pelangi yang bersembunyi setelah usai.

"Wahhh ... hujan! Fir ... kamu bawain sajadahku dulu!"

"Bawa sendiri kenapa sih? Aku mau nyari sandal dulu."

"Ya kamu bawain sajadahku dulu, trus aku nyari sandal kita."

"Owh, gitu. Ya udah sini."

Setelah salat Duha, tiba-tiba hujan turun. Walau tidak deras tetapi mampu membasai bumi. Para santri mulai berdesakan menyelamatkan alas kakinya masing-masing. Ada yang berlari terbirit-birit agar tidak basah.

"Lah ... Fir. Sandal aku kok gak ada!" teriak Nana yang tidak menemukan sandalnya.

"Ketutup sama yang lain mungkin," ucap Fira.

"Enggak! Ini sandalnya tinggal gak banyak. Tuh liat hanya ada lima pasang doang."

Tidak lama kemudian ada beberapa santri yang keluar dari masjid dan memakai masing-masing alas kakinya. Hingga tinggalah satu pasang alas kaki.

"Nah kan ... ini sudah yang terakhir. Sandal aku gak kayak gini, lagian ini kecil banget. Kaki aku sampai tumpah nih," ucap Nana sambil memperlihatkan kakinya yang memakai sandal terakhir itu.

"Berarti sandal kamu di gasab."

"Di gasab itu apaan?"

"Gasab itu mengambil manfaat dari barang milik orang lain tanpa izin, atau kasarnya mencuri tapi tidak untuk dimiliki," jelas Fira.

"Waduh! Di pesantren ada tuh yang kayak begitu?" tanya Nana heboh.

"Udah jadi makanan sehari-hari," jawab Fira santai.

"Trus ini aku pulangnya gimana?"

"Nyeker ajalah!"

"Ih ... gak mau! Kotor nanti," ucap Nana cemberut.

"Ya terserah!" balas Fira kemudian mengambil sandalnya yang berada di tangan Nana dan berjalan begitu saja meninggalkan Nana yang masih diam di depan masjid.

"Lo kok ditinggal sih! Fira ... tungguin," teriak Nana kemudian nekat menembus gerimis hujan dan berjalan tanpa alas kaki.

***

Tidak terasa sudah enam belas hari Nana di pesantren. Setelah insiden kaburnya yang gagal dan perenungannya atas kata-kata Fira, kini Nana jauh lebih sungguh-sungguh. Setiap waktu digunakannya untuk menghafal dan belajar menulis arab bersama Fira.

Sempena 30 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang