"Pahitnya kopi tak bergula tak lebih pahit dari pada sebuah kenyataan yang baru diketahui"
(Nana)
♡♡♡
"Bukan! Ibumu meninggal karena ...
Aku."
Nana yang baru pertama kali mendengar kabar ini langsung tercengang. Air mata perlahan turun membasahi pipinya.
Perlahan senyum getir Nana tunjukkan. Melihat ekspresi Nana, semuanya tahu betapa sakit hatinya mengetahui fakta yang selama ini ditutup rapat.
Bukan karena apa, hanya saja semua orang yang terlibat di dalamnya tidak ingin mengungkit masa lalu itu. Tetapi ternyata tidak semudah itu, ada orang yang menderita dibaliknya. Membuat hidupnya dalam kepalsuan, bersembunyi dibalik topeng yang menutupi kesedihan dan ketakutannya dengan senyuman palsu.
"Na ...?" lirih Fira memegang tangan Nana.
"Hhhhh ... kenapa?" tanya Nana masih tersenyum dengan air mata yang terus berjatuhan.
"Maaf ... maafkan aku, hiks ..." ucap Ustaz Althaf yang sudah tidak bisa lagi membendung air matanya.
"Hahaha ... Ustaz baik padaku gara-gara ini, ya?" ujar Nana dengan senyum hambar.
"Tidak! Demi Allah tidak! Aku ikhlas mengajarimu, itu bukan karena apa-apa, Fiz ... tolong maafkan aku."
Suasana hening, hanya suara isak tangis dari Ustaz Althaf dan pandangan yang sulit diartikan dari sorot mata Nana.
"Hah ... sebenarnya aku sudah menebak semua ini akan terjadi cepat atau lambat. Ternyata hari itu datang hari ini, ya?"
"Apa maksudmu, Nduk?" tanya ayah Nana bingung mendengar perkataan Nana.
"Banyak keganjalan yang Nana rasakan. Aku memang tau kalau kondisi Bunda lemah saat melahirkanku, begitu juga denganku. Sehingga kami diharuskan untuk dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari. Benarkan Ayah?" tanya Nana menoleh pada ayahnya.
"Da-dari mana kamu tahu semua itu, Na?"
"Aku menemukan buku catatan ini. Sebenarnya aku sudah menemukan ini waktu kecil tapi tidak kuhiraukan, dan tadi pagi ketika bersih-bersih tidak sengaja aku temukan lagi di ruang penyimpanan."
Nana mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari balik badannya. Entah dari mana buku itu berasal atau bagaimana Nana membawanya tidak ada yang tahu.
"Ini buku catatan Bunda, kan? Di sini, tepatnya 18 tahun yang lalu di hari ke-30 Ramadan, Bunda menulis diary terakhirnya. Ada gambar sketsa seorang ibu yang memangku seorang bayi dan satu anak kecil laki-laki duduk di kursi. Persis seperti yang Ustaz Althaf tadi katakan, benar? ..." tanya Nana menjeda perkataannya.
"Di sini dituliskan betapa bahagianya Bunda karena sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah satu minggu di rawat bersama anaknya, yang bernama Hafiza Hazna Nabeela, diriku. Kemudian saat menunggu Ayah mengurus administrasi, ada anak kecil yang ingin ikut Bunda karena menyukai bayinya. Orang itu bernama Althaf Nabil Musthofa, atau dipanggil Bibil. Benar Ustaz Althaf?" Ustaz Althaf hanya menanggapinya dengan senyum getir dan air mata yang semakin deras.
Sedikit demi sedikit ingatan abu-abu itu kembali menghampiri Ustaz Althaf. Meskipun masih kecil namun Ustaz Althaf bisa mengingatnya walau tidak jelas.
"Kemudian di lembar kedua, Bunda menulis sebuah janji dengan anak bernama Bibil ...." Nana menarik napas sejenak, kemudian mengembuskannya dengan pelan.
"Jika suatu saat nanti, Bibil akan menjadikan Fiza sebagai teman hidupnya. Menjaga dan melindunginya dari bahaya apapun. Membahagiakan dan selalu bersamanya, tinggal satu rumah di atap yang sama. Janji Bibil kepada Tante Billa. Ada tanda tangan Bunda dan satu bintang di sini. Buku ini masih banyak, lalu kenapa Bunda tidak melanjutkan diarynya? Sedangkan sebelum ini, Bunda selalu menulis diarynya walau sedang sakit. Dan sudah sangat jelas bahwa kondisi Bunda sudah membaik saat itu, tapi aku tidak tau harus bertanya kepada siapa, karena dari kecil Ayah selalu memberitahuku jika Bunda meninggal pasca melahirkanku," lanjut Nana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempena 30 (END)
Teen FictionKehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...