BAB XXVII

94 12 13
                                        

"Hidup dalam dunia keabu-abuan itu memang berat
Namun menciptakan pelangi dalam kehidupan juga tak mudah"

(Nana)

♡♡♡

"Ayah ... suami itu siapa?" tanya polos seorang anak kecil di pangkuan ayahnya yang sedang duduk di kursi pekarangan rumah.

"Hhhh ... dari mana Nana tau itu?" jawab sang ayah sambil tersenyum.

"Tadi waktu main sama teman-teman katanya kakaknya mau menikah. Trus katanya menikah itu punya suami. Trus punya anak deh. Lalu suami ayah mana?"

"Nana ... suami itu, seseorang yang akan menjaga, melindungi, memimpin, dan berjanji akan hidup bersama dengan istrinya. Istri itu perempuan dan suami laki-laki. Jadi Ayah adalah suami yang mempunyai istri yaitu bundanya Nana."

"Owh ... suami dan istri itu Ayah dan Bunda, ya?"

"Iya, seperti Ayah dan Bunda."

"Tapi Ayah tidak hidup bersama dengan Bunda. Bunda udah pergi duluan ninggalin Ayah sama Nana," ucapnya dengan sedih.

"Tidak, Nak. Bunda itu tidak meninggalkan kita, Bunda ada di sini." Sang ayah menunjuk dada putrinya dan dadanya sendiri.

"Mana? Nana tidak melihatnya?"

"Hhhh ... bukan dilihat, Sayang. Tapi kita rasakan."

"Bunda ... Bunda di dalam lagi ngapain? Nana sama Ayah kangen Bunda," ucapnya polos, sebelah tangannya mengelus-elus dadanya sendiri berharap sang bunda menjawab pertanyaannya. Ayahnya tersenyum melihat tingkah putri kecilnya.

"Owh iya ... kalau cinta Ayah. Cinta itu apa?" tanyanya lagi menatap sang ayah dengan mata bulat hitamnya.

"Dari teman-teman lagi?"

"Hehe ... iya. Katanya mereka menikah juga karena saling cinta."

"Cinta itu tidak perlu Ayah beritahukan Nana akan tau sendiri nanti kalau sudah waktunya."

"Kalau Ayah kan sering bilang cinta sama Nana dan Bunda. Berarti cinta itu kayak Nana dan Ayah?"

"Iya. Ayah mencintai Nana sebagai putri Ayah, dan mencintai Bunda sebagai istri Ayah."

"Apa bedanya?"

"Hhhhh ... anak Ayah kenapa kepo sekali?" Ayahnya mencubit pelan hidungnya.

"Hhahaha ... jangan Ayah nanti hidung Nana kayak pinokio."

.
.
.

Nana teringat kembali perbincangan dengan ayahnya sewaktu kecil. Tidak mudah memutuskan untuk menolak dua orang di depannya. Sedikit banyak hatinya sudah mulai terbiasa dengan kehadiran mereka.

Tetapi Nana juga harus bisa berpikir cerdas. Menikah bukanlah hanya karena tertarik satu sama lain. Siap menikah berarti siap menerima segala keadaan nantinya.

"Nana tidak memilih keduanya," jawab Nana dengan mantap.

Semua yang ada di sana saling pandang kemudian menatap Nana dengan pandangan seolah bertanya kenapa? Jika dipikir-pikir bukankah sayang menolak dua pria tampan yang menjadi idaman setiap wanita. Berpendidikan dan berpengetahuan agama bagus.

"Usia Nana masih 18 tahun, untuk berpikir kejenjang pernikahan itu masih lama. Nana ingin sekolah dulu tanpa ada gangguan dan tanggungan yang lainnya. Nana masih ingin bermain bola dan meraih cita-cita Nana. Masih banyak yang ingin Nana lakukan. Jadi untuk saat ini Nana belum bisa menerima kalian berdua," lanjut Nana.

Sempena 30 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang