"Jangan khawatirkan bagaimana sakitnya hatimu ketika terhantam pahitnya sebuah kenyataan, karena Allah tau cara yang tepat untuk menyembuhkannya"
(Althaf)
♡♡♡
Langit hitam terbentang luas, bertabur bintang yang memukau mata, kini cahaya bulan bersinar terang di tengah awan, menemani kesunyian yang kian menawan.
Secangkir kopi yang mengepul membentuk awan, membawa aroma yang begitu mendalam. Secangkir teh hangat tak ingin kalah dengan eksistensi sang hitam pekat layaknya langit malam. Keduanya berdampingan di atas nampan berteman dengan sang ratu camilan.
Dua laki-laki tampan bak bulan kembar yang bersinar terang dalam gelapnya malam, duduk dengan tenang menatap sang sabit yang tersenyum menawan layaknya seseorang dalam bayangan. Taburan bintang yang menghiasi langit malam ikut menemani dua pemuda yang kini duduk bersebelahan.
Bertemakan malam yang sunyi keduanya berbincang santai. Semilir angin malam yang menusuk sampai ketulang tak dihiraukannya. Sibuk bertukar cerita kehidupan yang membentang luas tak terbatas.
"Gimana keadaanmu, Al?" tanya seorang pemuda yang mulai mengambil secangkir teh dari nampan di depannya.
"Baik, Mas. Rasanya sekarang aku sudah lega. Walau masih ada satu hal lagi yang membuatku belum tenang sepenuhnya," jawabnya sambil menoleh kepada si penanya.
"Pelan-pelan saja. Kudengar dari Bibi Mai, kondisimu sempat menurun, ya? Maaf aku baru bisa melihatmu keesokannya."
"Hu um. Kondisiku sempat menurun, aku kira tak bisa lagi bangun dan membuka mata. Dalam mimpiku bayang-bayang itu selalu muncul menghantuiku. Aku mendengar isakan Umi, tapi sekali lagi, aku tidak bisa membuka mata, seperti ada beban berat yang menghamtam."
"Lalu Bibi memanggil orang itu?"
"Iya. Saran dokter aku harus berani menghadapi ketakutanku sendiri, salah satunya aku harus berani berhadapan dengan orang itu. Namun, jika aku tidak bisa melawan rasa takutku mungkin keadaanku akan semakin parah, bahkan bisa merusak mentalku. Dengan banyak pertimbangan akhirnya Umi memanggilnya. Dan .... yah, dia datang."
"Tetapi dia tidak bicara macam-macamkan kepadamu?"
"Enggak, Mas. Dia orang yang baik, buktinya dia mau datang malam-malam. Aku sempat hampir kambuh lagi saat melihatnya, tetapi dia berhasil menenangkanku dan kembali membawaku dalam kondisi yang baik seperti sekarang. Sosok ayah dalam dirinya begitu kuat, mengingatkanku pada almarhun Abah. Mungkin yang selalu muncul dalam mimpi burukku itu hanya bentuk ketakutanku saja, karena aku tidak begitu mengingatnya dengan jelas peristiwa yang terjadi diusiaku yang masih sangat belia atau karena trauma yang berusaha aku hilangkan, hanya tersisa bayang-bayang menakutkan, " ucapnya menerawang jauh ke masa lalu.
"Syukurlah kalau begitu, sepertinya dia memang orang yang baik."
"Tapi ada satu hal yang sangat berat, Mas. Anaknya tidak tahu kejadian yang sebenarnya, dia mengira ibunya meninggal karena sakit pasca melahirkan dirinya. Nyatanya semua itu tidak benar, akulah yang menjadi penyebab kematian ibunya. Bagaimana aku bisa menyelesaikan satu hal itu? Mungkin dia akan sangat membenciku, Mas."
"Apakah itu berhubungan dengan amanat dari Paman, dan apakah kamu sudah tahu orangnya?"
Dengan sudut bibir yang terangkat keatas membentuk senyum menawan yang kas, orang itu mengambil secangkir kopi dan meminumnya dengan pelan.
"Benar dan aku sudah bertemu dengannya. Orangnya ceria, cantik, walau suka marah-marah," jawabnya dengan wajah tersenyum.
"Melihatmu menceritakannya dengan wajah seperti itu, sepertinya kamu menyukainya ya?" tebak sang lawan bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempena 30 (END)
Подростковая литератураKehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...