"Cara terbaik untuk mengobati hati adalah dengan cara mengikhlaskan"
(Althaf)
♡♡♡
Setelah dua hari Nana berusaha dengan giat untuk menghafal juz 30, akhirnya tibalah saatnya hari penutupan Pondok Ramadan.
Suasana pesantren ramai, banyak santri berlalu lalang sibuk dengan tugasnya sendiri-sendiri. Apalagi panitia yang sudah seperti kincir angin.
Acara dilaksanakan jam dua sore kemudian dilanjutkan dengan salat Asar berjamah dan puncaknya adalah buka bersama. Panggung yang megah berhiaskan kaligrafi karya santri disertai bunga-bunga dan lantai yang berkarpet merah menambah suasana ceria dan meriah.
"Na ... udah siapkan? Udah hafal bagian-bagian kamu?" tanya Fira menghampiri Nana yang seharian bibirnya terus merapalkan surat-surat bagiannya.
"Udah ... tapi sumpah ya ini deg-degan banget. Duhhh ... jantungku serasa berdisko dari semalem," jawab Nana dengan tangannya memegang dadanya berharap detak jantungnya kembali berdetak dengan normal.
"Baca Rabbisyrahli sadri ... tiga kali sebelum naik panggung. Anggap aja hadirin yang hadir itu tidak ada," saran Fira menenangkan Nana.
"Suami kamu dan Gus Kafi itu gila tau gak?" kesal Nana.
"Siapa yang suami siapa? Lagian suul adab tau gak ngatain gurunya gila," jawab Fira dengan muka datarnya.
Nana menyebikkan bibirnya karena memang benar apa kata Fira. Tidak baik mengatai gurunya sendiri, hal tersebut tercantum dalam kitab yang sudah dipelajari Nana.
Alasan Nana deg-degan parah adalah karena Ustaz Althaf dan Gus Kafi sebagai penanggung jawab atas tampilan santri kilatan, menempatkan Nana di barisan paling depan tepat di depan mikrofon. Sedangkan hafalan Nana baru selesai satu hari yang lalu.
Saat latihan gladi kotor Ustaz Althaf mengumumkan bagian-bagian surat yang akan dihafalkan oleh masing-masing santri di panggung, berikut dengan formasi duduknya. Seketika Nana syok mengetahui dirinya berada di barisan paling depan.
Nana masih ingat dengan jelas bagaimana Ustaz Althaf menolak permintaan Nana untuk mengubah formasi duduknya.
"Ketua panitia penutupan Pondok Ramadan ini adalah Gus Kafi, sekaligus penanggung jawab dari tampilan santri kilatan bersama saya. Dan Gus Kafi memutuskan semuanya mulai dari formasi dan surat yang harus kalian baca, tugas saya hanya menyetujuinya saja," ucap Ustaz Althaf kelewat santai. Sedangkan ekspresi Nana sudah seperti cacing kepanasan.
"Tapi saya baru aja selesai hafalan, gimana kalau nanti tiba-tiba lupa. Setidaknya kalau dibelakang minta bantuan keteman masih bisa. La kalau di depan, mau di taruh di mana muka saya, Ustazzz ...!" geram Nana.
"Ya itu PR kamu. Malu atau tidaknya itu tergantung bagaimana usaha kamu. Oh ... dan tidak hanya kamu sendiri, kalau kamu sampai tidak hafal maka santri yang lain akan ikut malu juga."
"Ihhh ... kalian nyebelin banget sih. Sebegitu dendamnya ya sama aku. Awas aja! Akan aku buktikan tampilan besok sukses, aku bakal lancar hafalan. Liat aja!" ucap Nana sengit.
Tapi perasaan Nana tidak bisa bohong, walau sudah mencoba menenangkan dirinya, tetap saja ketika melihat panggung rasanya sudah mau kabur saja. Bahkan ini lebih menakutkan dari pada tanding voli tingkat nasional.
Berbicara tentang bola voli, Nana dibawakan satu bola oleh ayahnya. Karena Nana selalu merengek menanyakan bolanya ketika telepon atau dijenguk, supaya Nana semangat dan tenang belajar, jadilah ayahnya membawakannya ke pesantren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempena 30 (END)
Teen FictionKehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...