"Walau berat ucapkanlah
Walau sulit akuilah
Setenang-tenangnya hidup adalah ketika hidup tanpa rasa bersalah"
(Althaf)
♡♡♡
Jarum jam di dinding rumah Nana sekarang menunjuk ke arah angka lima. Nana dan ayahnya sudah menyiapkan hidangan buka puasanya di lantai ruang tamu. Mereka memilih melangsungkan makan dengan lesehan.
Tikar yang digelar sedemikian rupa dan hidangan makanan yang sudah siap saji. Lengkap dengan takjilnya. Hari ini adalah puasa terakhir, jadi sebisa mungkin menu yang dihidangkan juga spesial.
Tidak jauh dari tempat makan, disamping ruang tamu terdapat beberapa kursi untuk bersantai. Biasanya Nana dan ayahnya menghabiskan waktu berdua di sana. Namun kali ini berbeda, tempat itu diubah menjadi mirip tempat pertemuan. Beberapa kursi dari ruang tamu ditaruh di sana dan meja kecil ditengah-tengahnya.
Rencananya jika tamunya datang sebelum berbuka nanti akan dipersilahkan duduk di sana dulu sembari menunggu.
Semua tempat sudah tertata rapi. Nana dan ayahnya kini duduk diruang bersantainya menanti tamu.
Nana terlihat cantik dengan dress rempel sederhana berwarna mocca. Dress itu dibelikan ayahnya saat lebaran tahun lalu, tetapi belum pernah Nana kenakan. Karena dulu Nana lebih memilih memakai celana, menurutnya memakai gamis membuatnya susah berjalan.
Mungkin sekarang berbeda, Nana masih terbiasa ketika di pesantren yang tidak diperbolehkan memakai celana.Ayah Nana tersenyum lembut melihat putrinya yang cantik. Pilihannya cocok untuk Nana. Sering mengintip fashion remaja muslim membuatnya tahu model-model baju yang bagus untuk putrinya.
Ayah Nana berperan sebagai ibu sekaligus ayah bagi anaknya. Sehingga dari Nana kecil ayahnya selalu bertanya atau mengikuti trend model baju untuk anak perempuan. Hal ini dilakukannya supaya Nana tetap terawat dengan baik walau tidak ada sosok ibu di sampingnya.
"Nana cantik lo pakai baju itu, kenapa gak dari lebaran yang lalu Nana pakai?" tanya ayah Nana tersenyum.
"Hehe ... mungkin tahun lalu masih kebesaran, Yah. Jadi baru sekarang Nana pakai," jawab Nana sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Hhhhh banyak manfaatnya kan belajar di pesantren?" Ayah Nana tau kalau putrinya hanya beralasan.
"Iya, Yah. Udah ah, Nana malu tau," ucap Nana masam.
"Hahha ... iya-iya. Lucu banget sih anak Ayah. Senyum dong biar cantiknya gak ilang."
"Hiiiiii ..." ringis Nana hambar.
Terdengar suara mobil yang berhenti di pekarangan rumahnya. Ayah Nana segera berdiri diikuti Nana di belakangnya.
Ayah Nana berdiri di depan rumah menyambut tamu itu. Nana yang dari awal penasaran siapa tamunya juga berdiri di samping ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempena 30 (END)
Подростковая литератураKehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...