"Hidup, mati, jodoh, hanya Allah yang tau. Engkau yang di sana yang mampu mendebarkan hatiku pun belum tentu menjadi takdirku kelak"
(Gus Kafi)
♡♡♡
Suasana ramai di luar ruangan, entah di halaman atau di area pesantren tiba-tiba hening.Terlihat samar-samar seseorang dengan perawakan tinggi, memakai baju koko berwarna putih bersih, kopyah berwarna hitam yang kontras dengan wajah putih bersihnya. Sarung batik berwarna dasaran hitam turut membalut tubuh tegap itu dengan apik.
Langkah lebar namun tidak tergesa, aura wibawa menguar dari setiap langkahnya. Berjalan menunduk dengan kitab tipis dipelukannya. Keluar dari bangunan sederhana milik Sang Kyai pesantren. Semua mata yang memandang enggan untuk menatap, melirik pun tidak berani. Bukan karena takut, tetapi untuk menghormati orang yang berilmu atau takzimnya seorang santri kepada keluarga Kyainya.
Langkahnya semakin dekat dengan tujuan tempatnya bersinggah untuk mengisi pengajian. Sampai di ruangan seseorang itu langsung duduk di tempat yang telah disediakan. Matanya melirik sebentar ke arah para santri yang mengikuti pengajian.
Tanpa berkenalan, secara langsung seseorang yang ternyata Gus Kafi (putra Kyai Hasan, pengasuh Pesantren Fathul Munawwir) memulai pengajian dengan khidmat.
Nana yang sekarang sudah berpindah tempat duduk di barisan nomor dua dari depan, dapat melihat dengan jelas bagaimana wajah rupawan itu fokus membaca dan menerangkan isi dari kitabnya.
"Kitab ini bernama Taisirul Khalaq karangan al Hafidz Hasan al-Mas'udi yang berisi pelajaran akhlak. Sebagai muslim atau muslimat, menjaga pandangan termasuk akhlak atau adab yang paling penting tetapi sering tidak dihiraukan, kita sebaiknya menundukkan kepala ketika berhadapan dengan lawan jenis yang bukan mahrom, karena yang demikian adalah menjaga pandangan kita dari perbuatan maksiat. Dan juga, salah satu bentuk takzimnya seorang murid kepada gurunya yaitu dengan menundukkan pandangan ketika berhadapan." Gus Kafi menjelaskan dengan pandangan yang tak lepas dari kitabnya. Tidak pernah sekali pun mengangkat wajahnya.
Nana yang dari tadi terang-terangan memperhatikan Gus Kafi merasa tertohok mendengar hal demikian. Seketika Nana berdeham kecil dan mengalihkan pandangannya kearah lain. Secara tidak langsung Gus Kafi juga gurunya sekaligus orang yang bukan mahromnya.
"Ini orang sengaja ya? Punya indera keenam apa gimana? Perasaan dari tadi tuh kepala cuma nunduk aja, kenapa bicaranya seolah-olah menyindirku. Apa dia tahu kalau aku memperhatikannya?" batin Nana.
Fira yang melihat Nana berdeham kecil menyikutnya dengan pelan, yang membuat Nana mengernyit heran.
"Ada apaan?" tanya Nana berbisik.
"Tidak boleh berdeham di depan gurunya. Itu tidak sopan? Jangan-jangan dari tadi kamu memperhatikan Gus Kafi ya?" selidik Fira.
"Ihhh kagak ya. Cuma kebetulan aja tadi tenggorokanku gatal."
"Ya udah sih. Gak usah blushing gitu kalau emang enggak," ucap Fira dengan wajah masa bodohnya dan kembali memaknai kitabnya.
"Kenapa orang-orang di sini pada aneh sih. Apa cuma aku yang sehat dan polos di sini. Duh gusti ... lindungi hambamu ini," ucap Nana konyol dalam hati.
Walau Gus Kafi tidak memperkenalkan dirinya, semuanya sudah tahu karena nama-nama pengisi pengajian sudah tertera di jadwal. Hari ini adalah hari pertama Gus Kafi mengisi pengajian, karena kemarin Gus Kafi masih dalam perjalanan pulang dari pesantren.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sempena 30 (END)
Novela JuvenilKehidupan Nana hanya seputar dengan voli. Lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kehidupan pesantren yang serba antri? Begitu pun dengan bermacam kegiatan mengaji yang padat di bulan Ramadan. Juga harus hafal juz 30 selama 30 hari. Apakah seorang Na...