Dari arah seberang, seorang laki-laki berlari secepat angin menembus lalu lalang kendaraan demi menuju sebuah ruko kecil di sisi jalan. Bagai diburu sesuatu, dia melangkah tanpa hati-hati hingga tersandung di antara ubin teras yang sedikit lebih tinggi dari tanah. Ia segera bangkit, lalu berpegangan pada gagang ruko sembari menetralkan napasnya
Tak lama kemudian, jantung pemuda itu kembali terpacu saat matanya menangkap sebuah gembok putih mengkilap tergantung kokoh pada pintu kaca. Dia memperhatikan keadaan dari luar dan menyadari bahwa memang tidak ada satu pun penghuni di dalamnya selain bunga-bunga berbagai jenis.
"Bibi Indira! El!" seru laki-laki itu berharap mendapat keajaiban.
"Bibi!"
"Bibi sedang pergi." Suara perempuan menyelip dari arah belakang.
Laki-laki itu menoleh. Seketika matanya berbinar. "Aiza! Penyelamatku ...."
Gadis itu mengamati sosok di hadapannya. Rambut berantakan, wajah tegang dibasahi keringat, serta memakai sandal yang berbeda di kaki kanan dan kirinya. "Kau kenapa?"
"Tidak ada waktu. Cepat buka pintunya!"
"Rei, kau beli novel baru lagi?" terka Aiza setelah melihat benda persegi mencuat dari balik jaket biru Rei.
"Ini seri terbaru, dan aku menunggu novel ini setelah berminggu-minggu lamanya. Ayo bantu aku sembunyikan! Ibuku pasti sedang mengacak-acak kamarku sekarang." Rei kemudian menatap waswas toko kue tepat di seberang jalan.
Aiza menyilangkan tangan. "Kau cari mati, ya? Kau tahu 'kan ibumu itu seperti apa?
"Aku tahu! Kali ini dia pasti akan menghukumku." Rei mulai memelas. "Aiza ... aku tidak mau nonton film dokumenter lagi."
Alis gadis di depannya terangkat sebelah.
"Itu membosankan. Aku lebih baik memanggang 20 loyang kue tiap hari dari pada harus menyaksikan bayi kukang memanjat pohon."
Gadis berkerudung hitam itu menghela napas. Merogoh kantong sweater-nya, kemudian beralih menelisik isi ranselnya. Dia melakukan hal yang sama berulang kali, tetapi nihil. "Bentar ...," katanya dengan mata menerawang jauh. "Sepertinya ketinggalan di lab."
Pupil Rei membesar. Ia spontan memegang kepalanya yang mendadak berat. Dia berpikir jika hari itu akan menjadi hari terakhir bagi koleksi novel-novel fiksinya.
"Gawat! Aku harus pergi rapat, tapi berkas-berkasnya ada di dalam." Kali ini Aiza yang kewalahan. Dia melihat jarum jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh. "Sudah terlambat, aku harus pergi sekarang."
"Novelku?"
Aiza pasrah. "Berikan padaku! Tapi ini untuk yang terakhir kalinya."
Seketika senyum Rei mengembang. "Kau memang sepupu terbaikku."
Tanpa menggubris, Aiza lantas mengambil buku tebal bernuansa ocean itu lalu bergegas menuju sekolah yang tak jauh dari toko bunga Bibinya.
Hari sudah hampir siang, tapi suhu di luar masih cukup dingin sebab hujan lebat tadi malam. Banyak permukaan jalanan cekung tergenang air, tapi Aiza tak ambil pusing meski rok panjangnya menjadi korban. Langkahnya kian cepat menapaki pematang jalan, melewati gerbang, lapangan, hingga akhirnya sebuah gedung yang didominasi berwarna putih telah berada di depan mata.
.
.
Logo N di permukaan kayu putih membelah perlahan. Semua mata menangkap sosok di ambang pintu bersamaan dengan cahaya silau yang masuk dari luar.
"Maaf semuanya, aku sedikit–"
"Dua belas menit!" potong seseorang cepat dari ujung meja.
Aiza menilik ke arah sumber suara. Ia berpikir bahwa laki-laki itu masih tidak berubah setelah bertahun-tahun lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONSEMA
Mystery / ThrillerDemi lebih dekat dengan siswanya, SMA Noesantara akan menyeleksi konselor muda dari kalangan siswa tiap tahunnya, yang dikenal dengan 'Consema'. Insiden beberapa tahun silam kembali menyapa. Reputasi sekolah memburuk setelah berita seorang siswi bu...