03 || Berdegub

346 50 3
                                    

Berbagai langkah sepatu terdengar antusias di sepanjang koridor hingga ke luar gedung. Tak sampai lima menit bel pulang berdering, semua kelas disulap kosong.

Fath terduduk di antara tumpukan kardus dengan napas terengah-engah. "Dia bahkan tidak membantuku!" protesnya pada seseorang.

Aiza menatap laki-laki angkuh di sudut atap yang tengah berdiri tenang dengan tangan menyilang. Matanya memandang titik lain seakan tak menaruh peduli dengan situasi yang ada.

Wajar jika Fath kelelahan. Selain mati-matian mencari alasan bagus untuk bisa keluar kelas lebih cepat, dia juga harus mengorbankan tenaga demi membuka pintu kayu tebal itu sendirian.  Tak ada cara lain selain mendobrak paksa, sebab tempat yang mereka kunjungi telah menjadi area terlarang. Sejak hari pertama sekolah, siapa pun tidak boleh menginjak atap gedung olahraga, terutama siswa.

"Mengajak Zahi bergabung sepertinya ide buruk," bisik Jia.

Aiza masih berusaha berpikir positif. Dia sedikit menyesal dengan ucapan spontannya hari itu. Namun, Zahi sudah tahu terlalu banyak. Jadi, tidak ada pilihan lain. Lagi pula mengingat kedudukan Zahi di sekolah ini, Aiza yakin dia mengetahui sesuatu.

"Sudah kubilang, jangan berharap banyak padaku." Pemuda itu membuka suara. "Tentang rencana-rencana kalian ... sejujurnya aku tak peduli. Kalian tidak perlu khawatir orang lain akan tahu."

"Bagaimana kami bisa percaya padamu?" Fath mulai berdiri.

"Apa untungnya bagiku? Membuang waktu dengan menjual informasi pada orang luar?" Zahi terkekeh kecil.

Aiza menaikkan sebelah alisnya. "Lalu kenapa kau mau datang ke sini?"

"Sederhana," kata Zahi. "Kau curiga dengan ayahku? Oke, kalau begitu kita sama."

Kening Aiza berkerut sempurna. Dalam Sedetik gadis itu berpikir bahwa laki-laki yang sering dijuluki aneh itu bukanlah mitos.

"Aku tidak bermaksud mencurigai ayahmu. Aku hanya berpikir jika pak Arfan pasti punya alasan kenapa dia membangun sekolah ini?" Aiza setengah menyesal sebab bicara terlalu banyak kemarin.

"Teman-teman, waktu kita tidak banyak." Sammy melompat dari meja kayu tempat dia duduk. Melirik tablet pintarnya. "Kita harus menyelesaikan ini sebelum sore."

Cuaca saat itu cukup terik, tapi desiran angin di lantai empat sedikit membantu mereka menghalang rasa letih.

"Aneska. Kalian pasti tak asing lagi dengan nama itu." Sammy membaca sesuatu dari tablet. "Dia satu-satunya saksi yang berada di tempat kejadian."

"Aku jadi kasihan padanya." Jia menunduk menatap lantai atap. "Karena sering menjadi incaran para wartawan, dia bahkan belum masuk sekolah sejak hari pertama."

"Hidup sebagai satu-satunya saksi dalam sebuah kasus bunuh diri pasti tidak menyenangkan," timpal Aiza.

Sammy melanjutkan, "Dari setiap pengakuannya, Aneska selalu berkata bahwa dia hanya mendengar teriakan singkat sesaat sebelum tubuh Fani telah jatuh ke tanah. Dia bahkan ragu jika itu suara Fani, tapi dia yakin itu berasal dari gedung olahraga."

Fath melangkah mendekati bibir atap. Jia mengingatkan untuk berhati-hati sebab di atas sana hanya ada dinding pembatas setinggi betis. "Jika dia berniat bunuh diri, kenapa dia berteriak?"

Aiza tampak berpikir. "Jika dikaji, opini-opini tentang kematian Fani memang cukup banyak, tapi pihak polisi selalu menyimpulkan ini kasus bunuh diri. Itu masuk akal, karena semua kasus kematian di sekolah kita memang terbukti bunuh diri."

"Dari mana gadis itu mendengar teriakannya?" tanya Zahi.

"Dari lapangan," balas Sammy. "Dia sedang menuju ke asrama perempuan untuk mengantar makanan."

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang