31 || Janji

144 26 10
                                    

Langit semakin gelap. Hujan yang mengguyur sore ini jauh lebih lebat dari biasanya.

Aiza masih berdiri di depan pintu ruko. Dari sana ia bisa melihat Rei lagi-lagi duduk termenung di sudut luar tokonya. Dia meraih payung yang bersandar di sisi pintu lalu mengembangkannya. Setelah melirik ke kiri dan kanan, merasa kendaraan mulai sepi, ia pun segera menerjang jalanan. Sembari berlari, tangan kirinya terus memeluk sebuah buku yang ia lindungi di balik jas hujan agar selamat sampai tujuan.

Rei bahkan tak melirik keberadaan Aiza sesaat gadis itu sampai di teras tokonya. Aiza mulai mengeluarkan buku yang ia bawa sembari mendatangi Rei. Laki-laki itu duduk dengan kedua lutut naik ke atas kursi agar tak terkena percikan hujan.

“Aku tak sengaja melihat ibumu membuangnya kemarin,” kata Aiza sambil menyodorkan novel bertema sejarah tersebut.

Rei hanya menatap kosong buku itu, hingga akhirnya Aiza meletakkan novel tersebut ke sela pelukan lutut dan dada Rei secara paksa.

“Percuma.” Rei bersuara lirih.

Hah?” Aiza kesulitan mendengar ucapan Rei sebab kalah oleh bunyi hujan. “Bicaralah yang keras!”

“Percuma! Tidak ada lagi alasan aku membaca buku!” ulang Rei.

“Tapi Kau pernah bilang ingin jadi penulis, kan?” ujar Aiza setengah berteriak.

Rei menggeleng masih dengan tatapan hampa. “Lupakan! Ibu lebih suka aku menjadi pilot, kru kapal laut, atau tentara seperti ....”

Meski Rei tak melanjutkan ucapannya di tengah suara berisik hujan itu, tapi Aiza paham maksud sepupunya tersebut. Sekali lagi ia menengok ke dalam ruko. Mendapati Bibi Riri sedang sibuk merapikan meja.

“Jangan coba-coba bicara padanya!” Rei memperingatkan, seolah tahu maksud hati Aiza.

Aiza menatap Rei sebentar. Setelah menimbang-nimbang, ia memilih masuk ke toko tak peduli dengan respons Rei setelahnya. Dia lantas melaju ke dapur setelah melihat Bibi Riri baru saja masuk ke sana. Entah hanya perasaannya, atau memang ibu Rei sengaja pura-pura sibuk demi menjauhinya.

“Kenapa kau memberikan novel-novel itu lagi?”

Langkah Aiza tertahan di pintu dapur. Ternyata dugaannya benar jika Bibir Riri mengetahui kejadian di luar barusan.

“Kenapa, Bi?” tanya Aiza. “Bibi tidak suka Rei membaca buku?”

“Lalu apa yang ia dapat dari membaca buku fiksi-fiksi itu?” Bibi Riri masih enggan menoleh dan sengaja membuat dirinya repot dengan peralatan dapur.

“Bibi tahu ... Rei bahkan punya kemampuan mengarang lebih baik daripada aku. Wawasannya juga tidak bisa diremehkan. Banyak hal yang sebelumnya tidak kutahu, dan aku dapat darinya. Jika dia tekun, aku yakin—“

“Bibi hanya ingin dia punya masa depan yang lebih baik!” sela Bibi Riri.

Aiza menggigit bibir bawahnya, agak waswas untuk menyanggah. “Sebaik apa, Bi? Seperti ayahnya?”

Dari belakang, Aiza bisa menyaksikan kedua tangan Bibinya jatuh lemas dan berhenti beraktivitas. Terbesit rasa khawatir jika ia terus menuding Bibinya dengan berbagai fakta dan malah membuatnya berduka.

“Paman Dzaki telah menunjukkan bahwa masa depan terlalu rumit untuk ditebak. Bahkan takdir yang sedang kita jalani masih bisa berubah kapan saja.” Aiza mencoba melangkah lebih dekat pada wanita itu. “Bi ..., Bibi ingat kapan terakhir Paman pulang?”

Dengan jarak yang lebih dekat itu, Aiza bisa merasakan desiran napas berat dari Bibi Riri.

“Itu sudah ketentuan-Nya. Bibi juga telah menerimanya,” ucap Bibi. “Ayahnya juga pasti menginginkan dia menjadi orang hebat suatu hari nanti.”

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang