25 || -3

151 24 3
                                    

“Terkadang, tubuh kita atau benda-benda di sekitar kita dapat mengalami ketidakseimbangan muatan listrik. Hal ini membuat—“

Penjelasan Bu Hanin tertangguh. Matanya tak sengaja menangkap pemandangan tak mengenakan di dalam kelas.

“Aiza!”

Tubuh gadis itu tersentak sekilas. Dia agak gelagapan sebelum menyiapkan dirinya untuk kembali fokus ke depan. “Maaf, Bu ....”

Bu Hanin beranjak mendekati meja Aiza. “Ibu tahu kau mungkin sudah mempelajari ini semua dari ayahmu. Tapi tolong, Jangan rusak atmosfer kelas ini!”

Kepala Aiza tertunduk bersalah. “Aku benar-benar minta maaf, Bu.”

Akan tetapi, wanita bersanggul itu masih menatapnya dingin. Aiza tak tahu apalagi yang lebih buruk dari ini. Namun, keberuntungan datang tepat waktu seiring bel istirahat berbunyi. Itu berjaya mengalihkan tujuan Bu Hanin sekaligus menyelamatkan Aiza.

Di saat orang-orang memburu ke luar kelas, Aiza masih betah duduk untuk mendapatkan pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Dia menggedor kepalanya beberapa kali. Baik di rumah maupun di sekolah, otaknya terus memutar kejadian yang sama.

“Kau bisa geger otak,” ketus Zahi.

Aiza berbalik. Karena barisan tempat duduk mereka telah kosong, dia jadi lebih leluasa menatap Zahi di kursi paling belakang. “Pergilah ke kafetaria tanpa aku!”

Bersamaan dengan itu, suara nyaring kembali terdengar. Namun, ini bukanlah bel istirahat yang rusak, melainkan audio milik radio sekolah.

Zahi menatap speaker yang menempel di sudut ruangan. “Kusarankan mereka agar mengganti intro radio itu.”

Leon mulai bersuara. Satu sekolah dikejutkan dengan pengumuman Leon yang berisi tentang nama-nama siswa yang mendapat pengurangan nilai.

"Ternyata masih ada yang berani membuat pelanggaran," tutur Felix yang juga masih berada di kelas.

Aiza pun tak habis pikir dengan siswa di sekolahnya.

Tak beberapa lama, Aiza dan Zahi mendapat notifikasi yang sama dari ponsel masing-masing. Dahi Aiza berkerut sesaat. Dia pikir itu adalah grup obrolan baru setelah melihat nama grupnya. 'Detektif Noesa'. Siapa lagi pelakunya jika bukan Fath.

Zahi keluar dari tempat duduknya lalu berbisik lirih ketika melewati Aiza. Mereka tetap harus waspada karena masih ada orang di dalam kelas.

Aiza mengangguk. Jia menyuruh mereka semua berkumpul di atap gedung IPA. Matanya memperhatikan gestur normal Zahi yang lebih dulu berjalan ke luar. Sama sekali tidak terganggu dengan nama baru grup obrolan mereka.

ᴄᴏɴꜱᴇᴍᴀ

Baru saja melangkahi beberapa anak tangga, mereka dilanda sesuatu yang janggal. Seperti ada suara ketukan sepatu selain mereka. Keduanya pun kompak menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya saat mereka mendapati Felix ada di sana.

Felix tersenyum meski diserang tatapan heran. “Kalian ke atas mau lihat para wartawan datang, kan? Karena siswa yang lain juga sibuk pergi ke lantai atas.”

Dibanding Aiza yang masih gelagapan, Zahi justru menyambut cepat. “Benar! Kami memang mau lihat itu.”

Alhasil, mereka naik bertiga. Sesampainya di atas, tiga orang yang sudah berada di sana tertegun. Aiza sudah menebak itu. Tak ada yang mengira jika Felix akan ikut. Jia yang sedang berjongkok di sebelah tumpukan puing bangunan sambil mengelap kacamatanya pun terdiam kaku. Sendi engselnya mendadak macet hingga membuatnya tak mampu berdiri. Sosok yang dia kagumi sejak masuk sekolah sekarang berdiri di sana dan menatapnya. Ini takdir, batinnya.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang