26 || Pulang

153 27 3
                                    

Bibi Indira baru saja kembali setelah mengantarkan El ke sekolah. Dia masuk dan melihat toko sedang kosong. Namun, tak lama setelah itu, Aiza keluar dari gudang sambil memeluk pot besar berisi bunga yang nyaris menutupi tubuhnya.

“Kau tidak punya acara hari ini?” tanya Bibi. “Kalau sibuk, tidak usah bantu-bantu dulu.”

Aiza menaruh pot raksasa itu di tengah-tengah ruangan. “Aku belum merencanakan apa pun. Lagi pula kami libur sampai minggu depan.”

Ibu satu anak itu mengangguk paham, lalu beralih duduk di mejanya. Mulai menyibukkan diri dengan berbagai pesanan bunga.

Sembari merangkai bunga, sesekali Aiza melirik ke arah toko roti. Dia belum melihat Rei sejak kemarin. Bahkan pagi ini Rei juga tidak menampakkan dirinya di sekitar toko. Padahal sebelumnya Rei tidak pernah absen berkunjung ke ruko bibinya.

“Bi, apa Rei sedang sakit? Tumben dia tidak ke sini.”

Bibi mendelik singkat. “Kemarin Bibi lihat dia sehat-sehat saja.”

Konsentrasi mereka agak buyar ketika salah satu saluran TV memberitakan sesuatu. Kebiasaan Bibi Indira adalah menyalakan TV meski tidak menontonnya. Hanya dijadikan teman agar ruko itu tidak terlalu sunyi saat semua orang sedang pergi.

Terdengar pembawa berita tersebut tengah membahas mengenai dua murid yang dikeluarkan dari SMA Noesantara karena sistem poin yang diberlakukan. Aiza sudah menduga jika isi berita akan selalu dilebih-lebihkan. Sekarang, semua warna negara ini akan menganggap buruk sistem poin kelulusan di sekolahnya.

“Kenapa kejadian semacam itu saja mesti diberitakan?”

Keluhan Bibi Indira tersebut disetujui oleh Aiza. Dia juga geram kenapa para wartawan itu enggan beralih dari sekolahnya dan berburu berita lain saja.

“Apa Bibi tidak kasihan dengan dua siswa itu?” Aiza bertanya iseng. “Tapi ya, memang sulit membuat keputusan yang bisa menguntungkan kedua belah pihak.”

“Itulah yang namanya adil,” jawab Bibi dengan tangan yang masih sibuk mencatat. “Adil itu ketika kau bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memihak yang benar. Mereka sudah melanggar aturan, jadi mereka berhak mendapat sanksinya.”

Beberapa saat Aiza termenung. Dia mulai menyadari, bahwa selama ini ia keliru memaknai antara bersikap tega atau menjadi bijak.

“Kasihan, tentu! Tapi sanksi tetap harus diberikan,” tambah Bibi Indira.

Aiza manggut-manggut sambil menancapkan satu persatu tangkai bunga ke dalam pot, lalu meminum lagi jus jeruknya di atas meja. Hari ini ia memutuskan untuk tidak ke mana-mana dan mencoba bersantai saja di rumah.

“Kau sudah ambil paketmu di rumah?” Bibi Indira mengubah topik.

Seketika tubuh Aiza tercekat. Dia meringis sebab Bibinya justru mengingatkan hal yang ingin ia lupakan. Di sisi lain, ia berharap Aidan berbaik baik hati untuk mengantarkan paketnya ke sana, walaupun itu mustahil.

Aiza mengalih sekilas pada Bibinya. “Nanti saja.”

“Tapi abangmu menelepon sekarang.”

Kepala Aiza menegak lalu bergerak mengambil ponsel di atas meja Bibinya.

“’Alien Mars' itu Aidan, kan?” Bibi memastikan.

Aiza tak menjawab. Dia segera melihat gambar kiriman dari abangnya setelah panggilan singkat itu. Sebuah kardus berisi headphone putih dan baru. Itu paketnya.

“Kebiasaan!” sungut Aiza.

Dia mengusap wajahnya sejenak demi menahan kesal sebelum melanjutkan aktivitasnya kembali. Namun, matanya tak sengaja menangkap jam dinding di sisi ruangan. Dia baru teringat bahwa ayahnya akan kembali dari luar kota pagi ini.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang