Aiza ragu ada yang berkunjung ke ruangan Pak Hilmi di jam-pelajaran-seperti sekarang.
Di muka pintu, ia sejenak melemaskan pergelangan tangan sebelum mengetuk. Dirinya tak akan segugup ini jika bukan untuk menyampaikan rasa keberatannya terhadap peraturan baru tersebut.
Setelah beberapa ketukan, ia belum mendengar suara Pak Hilmi yang biasanya menyahuti. Namun, pintu coklat itu tiba-tiba dibuka dari dalam oleh seseorang, yaitu Leon.
Bukan hanya itu, tubuh gadis itu kian menegang kala memandang ke arah meja dan masuk lebih dalam. Semua orang tengah menatapnya, termasuk kepala sekolah yang sedang duduk berhadapan dengan pak Hilmi. Pak Ezra pun berdiri dan tersenyum menyambut kedatangan Aiza.
Aiza benar-benar kebingungan. "Kenapa semua berkumpul di sini?"
Rasanya, tempat pelarian Aiza begitu kentara. Kini semua orang seolah tahu dia akan ke ruang konselor jika ingin mencari jalan keluar.
"Kepala sekolah tahu kau akan sedikit tidak setuju dengan peraturan itu," jawab Leon.
Tunggu, Aiza mengernyit samar. Itu pasti kebetulan. Padahal ia sudah berencana untuk menemui Pak Hilmi kemarin, tapi harus ia tunda karena Pak Hilmi tidak masuk hari itu. Namun, Ia tak menyangka jika orang-orang di dalam sana tahu maksud kedatangannya.
"Peraturan ini hanya bersifat sementara," sambung Pak Hilmi. "Dan kami telah mendiskusikan segalanya dengan matang termasuk dengan para guru."
Perkataan Pak Hilmi terdengar begitu tenang. Tidak ada tanda-tanda bahwa guru BK itu akan menentang kebijakan itu. Entah kenapa perlahan pikiran Aiza mulai luluh karena mengira bahwa Pak Hilmi pasti punya alasan kenapa ia menyetujui hal ini.
Kepala sekolah akhirnya buka suara sebab Aiza masih bergeming. "Tidak ada salahnya sekolah bersikap tegas sesekali. Kita pasti tidak ingin kejadian memilukan kembali terjadi. Dan dengan peraturan yang bersifat sementara ini, setidaknya kita bisa melihat sikap para siswa beberapa bulan ke depan."
"Lalu apa akhir dari mereka yang melanggar hingga kehabisan poin?" tanya Aiza. "Leon tidak mengatakan apa pun selain sistem pengurangan dan penambahan poin."
"Dikeluarkan paksa," jawab pak Ezra. "Karena mereka tak punya poin apa pun untuk melanjutkan kegiatan di sekolah."
Mata Aiza melebar dengan alis terangkat. Semua rangkaian kata-kata yang telah ia siapkan sebelum ke sana mendadak lenyap. Ini jebakan!
"Ada alasan khusus kenapa konsekuensinya tidak diberitahukan ketika pengumuman ...," lanjut pak Ezra. "Itu karena sekolah kita sudah terlalu banyak mendapat sorotan, bahkan berturut-turut dibicarakan akhir-akhir ini."
"Bukankah sekolah kita memang sudah terbiasa dengan awak media?" Suara Aiza nyaris terbata-bata. "Maaf jika saya lancang, Pak, tapi menerapkan peraturan berisiko seperti itu hanya karena kecaman akibat dari pemberitaan awak media saya rasa bukan hal yang tepat. Saya yakin sekolah kita tidak selemah itu."
"Ini bukan hanya tentang awak media." Leon menampik datar.
Aiza refleks menoleh pada Leon. Namun, laki-laki itu enggan menjelaskan maksud perkataannya.
"Sekolah kita mendapat peringatan merah dari wali kota." Pak Hilmi pun ikut berdiri. "Ini juga adalah dampak dari pemberitaan media. Sekarang kita hanya punya satu pilihan, yaitu membuat sistem poin agar para siswa tidak merasa dikeluarkan secara tiba-tiba. Dan kenapa konsekuensinya tidak dikatakan secara langsung juga merupakan perintah langsung dari wali kota."

KAMU SEDANG MEMBACA
CONSEMA
Mystery / ThrillerDemi lebih dekat dengan siswanya, SMA Noesantara akan menyeleksi konselor muda dari kalangan siswa tiap tahunnya, yang dikenal dengan 'Consema'. Insiden beberapa tahun silam kembali menyapa. Reputasi sekolah memburuk setelah berita seorang siswi bu...