Aiza menarik kursi hitam dan duduk dengan perlahan. Matanya masih menolak untuk memandang pria ber-jas hitam di sisi sebelah meja.
"Kau dalam masalah, Nak," kata pemilik suara serak itu sembari memajukan selembar kertas.
Bibir Aiza masih rapat. Dia bisa melihat semua itu dari ekor matanya. Sebuah surat peringatan dari polisi hanya karena mencoba membuka fakta yang sebenarnya. Bukan karena berkeliaran di luar jam sekolah dengan masih mengenakan seragam. Lucu sekali, pikirnya.
"Aiza, lihat Saya!"
Sentakan itu berhasil meluruskan dagu gadis tersebut. Pasokan oksigen di sekitarnya terasa menipis. Dia bisa dengan mudah mengingat nada hardik yang sejak dulu ia terima. Aiza lalu menatap kepala sekolahnya heran. Tidak biasanya Pak Ezra marah seperti itu.
"Bapak bisa saja menahan semua undangan dari berbagai universitas untukmu. Kau cerdas, kau yang terbaik, kau adalah aset berharga sekolah ini. Mereka akan senang hati menerimamu bahkan saat ini juga!" Pak Ezra mengatur napasnya. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan, hm?"
"Maaf sebelumnya, Pak." Aiza menggenggam tangannya agak grogi. "Saya tidak tahu jika ini akan menjadi masalah yang cukup serius bagi Bapak. Namun, sejujurnya saya masih belum mengerti apa kesalahan saya dan teman-teman sebenarnya. Bukankah bagus jika kita tahu apa penyebab kematian Fani sebenarnya? Ini bisa dijadikan batu loncatan untuk ki—"
"Aiza," potong Pak Ezra tenang. "Sepertinya kau belum menemukan poinnya. Masalah sesungguhnya bukan karena kalian telah berhasil menguak perkara bunuh diri Fani, tapi dampak dari hal yang kalian lakukan itu. "
Aiza masih berusaha mencerna kata-kata Pak Ezra. Baru kali ini dia merasa kesulitan memahami maksud kepala sekolahnya.
Pak Ezra masih berusaha tenang. "Coba kau pikirkan! Jika berita keberhasilan kalian terdengar dan diketahui oleh wartawan di luar sana, itu pasti akan menjadi bahan konsumsi baru bagi mereka. Bapak bukannya tidak menghargai kalian. Bapak tahu yang kalian lakukan itu tidak salah, tapi waktunya yang tidak tepat."
Kursi beroda itu terdorong ke belakang. Pak Ezra melangkah menuju ke salah satu jendela besar di ruangannya. Menyeka gorden untuk mengintip sesuatu di luar sana. "Entah kapan mereka akan berhenti."
"Lalu, kenapa Bapak meminta para Top 10 untuk mendiskusikan masalah ini?"
"Seharusnya bapak tidak perlu
menjelaskannya lagi padamu." Pak Ezra menutup tirai jendela. "Sekarang gerak-gerik sekolah ini selalu diawasi. Sedikit saja kita bergerak, mereka para awak media pasti akan bertindak. Dan kau pasti tahu betapa sulitnya menampilkan berita bagus setelah berbagai hal buruk yang terjadi di sekolah ini."Aiza menunduk, menatap sepatunya. "Saya yang salah. Saya salah karena tidak berpikir jauh akibat dari ini semua. Seharusnya saya paham jika sekolah kita sedang dalam situasi yang sensitif. Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Dan tolong jangan libatkan mereka. Jika bapak ingin memberi sanksi, hukum saja saya."
Laki-laki paruh baya itu menghela napas panjang. "Itu bukan solusinya. Anak remaja seperti kalian memang penuh dengan keingintahuan yang besar. Itu lumrah. Rasanya keliru jika bapak justru menyalahkan kalian. Saya yang sebaik-baiknya bertanggung jawab di sini. Sekolah kita masih terlalu muda, dan masih banyak yang perlu diperbaiki."
Meski sedang membelakanginya, Aiza merasa Pak Ezra baru saja mengusap matanya.
"Bapak ... menangis?" pertanyaan itu terdengar tidak sopan, tapi Aiza begitu penasaran.
"Tidak!" sangkal Pak Ezra cepat. "Ini hanya debu." Lalu tersenyum tipis.
Aiza membalas senyumnya meski dia tahu kepala sekolahnya sedang berdusta. Ia semakin diliput rasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONSEMA
Mystery / ThrillerDemi lebih dekat dengan siswanya, SMA Noesantara akan menyeleksi konselor muda dari kalangan siswa tiap tahunnya, yang dikenal dengan 'Consema'. Insiden beberapa tahun silam kembali menyapa. Reputasi sekolah memburuk setelah berita seorang siswi bu...