33 || Pencarian

138 24 8
                                    

Sampai detik ini, Aiza masih tak habis pikir jika kehidupannya sebagai consema akan menjadi begitu rumit. Bukan lagi hanya sekadar duduk di depan komputernya dan mendengar keluhan para siswa, tapi juga harus menangkap calon pembuat petaka. Kabar buruknya lagi, dia sedang menjadi target seseorang yang tak dikenal.

Aiza mulai mawas diri. Barangkali waktu dulu dia pernah berbuat salah pada seseorang. Dia tidak akan secemas ini jika tahu siapa gadis itu, yang juga ber-kemungkinan besar akan membahayakan teman-temannya.

Ini adalah hari terakhir para klub berlatih sekaligus mendokumentasikannya dalam bentuk film pendek. Aiza menawarkan diri untuk membawa satu dus kecil air mineral menuju lab Kimia untuk para siswa yang tengah sibuk menata peralatan laboratorium yang baru.

Laboratorium kimia sekarang tampak lebih luas dari sebelumnya. Aiza menyambut beberapa siswa di dalam sebelum masuk dan meletakkan dus air ke salah satu meja.

“Terima kasih,” ujar Suwadi yang langsung muncul dari bawah meja. “Aku menunggu ini dari tadi.”

Aiza memutar pandang ke seisi ruangan. “Maaf, sedikit terlambat. Aku harus mengecek para klub lebih dulu.”

Mereka memaklumi dan mulai mengambil minuman satu per satu.

“Agak lucu seorang consema ditugaskan mengontrol klub sekolah,” celetuk Suwadi seusai menenggak separuh minumannya.

Bibir Aiza tersungging. “Aku sudah menertawakan ini beberapa hari.”

Suwadi nyaris tersedak sebab tak dapat menahan tawa.

“Tumben kau datang di hari terakhir klub berlatih?” Aiza menyinggung secara terang-terangan.

“Cuma ingin terlihat sibuk seperti yang lain,” jawab Suwadi ditutup tawa khasnya.

Aiza sudah menduga jawaban eksentrik pemuda tersebut.

“Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Rei?”

Sebelah alis Aiza terangkat. Ternyata Suwadi juga hanya ingat bahwa Rei sakit. Sepengetahuannya, mereka berdua adalah teman akrab. Rei benar-benar parah.

“Sudah agak membaik.” Aiza pun terpaksa mengikuti skenario buatan Rei.

Laki-laki berkacamata itu hanya mengangguk, lalu kembali pada aktivitasnya semula. Kini pandangan Aiza tertuju pada meja bagian belakang. Leon dan Fiona tampaknya masih sangat sibuk hingga belum sempat mengambil minuman mereka. Aiza pun inisiatif mengambil dua botol air dan mengantarkannya ke sana.

“Minumlah!” Aiza menempatkan botol air tersebut tepat di tengah meja. “Tubuh kalian butuh cairan.”

Kepala Fiona terangkat. Baru menyadari keberadaan Aiza. “Uh, Aiza! Maaf, rencananya mau kuambil nanti.”

“Aku yang seharusnya minta maaf. Aku tidak bisa membantu kalian di sini.”

“Tidak masalah, sudah banyak orang di sini. Kau pasti juga sangat sibuk.”

Fiona adalah peri sungguhan yang membuat siapa pun pasti ingin berteman dengannya karena sikap perhatian yang ia miliki. Setelah mencuci tangan di wastafel, dia lalu menyeka tangannya sedikit dengan handuk kecil. Bersamaan dengan itu, Leon dengan sigap mengambil satu botol air kemudian membukanya sebelum diberikan pada Fiona. Pemuda itu tahu Fiona ingin minum dan pasti tidak akan bisa membuka botol bersegel tersebut dengan satu tangan yang diperban.

Aiza tertegun hingga beberapa saat. Sebenarnya ia sudah tak asing dengan pemandangan itu, hanya saja dia masih tak menyangka jika seorang Leon adalah budak cinta.

“O, ya! Selamat atas kemenangan kalian!” Aiza berusaha membuat dirinya nyaman walau nyatanya lebih ingin menghilang saja dari sana.

Sebagai siswa yang kerap dibentuk menjadi tim dalam berbagai perlombaan, bisa dibilang bahwa Aiza adalah saksi di setiap tingkah manis sejoli yang selalu berdalih mereka ‘hanya teman'. Itu sebabnya Aiza memilih berpura-pura tak menyadari.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang