16 || Berhak

200 37 3
                                    


"Kelas mayor hanyalah omong kosong!"

Begitulah anggapan Pak Hilmi di hadapan kepala sekolah.

Buku-buku jari Pak Ezra mengepal perlahan di atas meja. Bola matanya mengalih ke sisi lain. Enggan berurusan dengan situasi klise dan perdebatan lama itu.

"Membuat sebuah kelas khusus yang berisikan siswa pilihan adalah sebuah cara baru untuk mengeksploitasi otak mereka hanya demi reputasi sekolah ini." Guru BK itu bangun dari sandarannya dan menegakkan punggung. "Semua siswa itu sama. Tak ada alasan bagus untuk mengelompokkan mereka berdasarkan nilai akademiknya."

Kepala sekolah memijit pangkal hidungnya beberapa saat. "Sampai kapan kita harus membahas masalah ini?"

"Pak—"

"Pak Hilmi!" Kepala sekolah menginterupsi. Kini matanya tak segan mengunci sosok di depannya. "Saya juga seorang guru. Lalu bagaimana bisa saya tega memperbudak murid-murid saya."

ᴄᴏɴꜱᴇᴍᴀ

𝚂𝚎𝚗𝚒𝚗, 𝟶𝟹 𝙵𝚎𝚋𝚛𝚞𝚊𝚛𝚒

Pagi ini, penampakan sekitar kelas mayor tak kalah jauh dengan suasana di lokasi syuting.

Seluruh penonton, baik dari awak media maupun siswa makin bertambah hingga memadati area gedung IPA. Seharusnya hanya kru dari televisi milik kementerian pendidikan yang mengambil alih acara ini. Namun, seperti kata bu Hanin, para wartawan dari media lain tentu tak akan melewatkan momen berharga tersebut.

Waktu menjelang pertunjukan tersisa beberapa menit lagi. Setelah ditempatkan di ruangan berbeda sebelum kelas disterilkan-dari kemungkinan adanya catatan, coretan atau jawaban terselip di dalam sana-oleh pengawas, para siswa kelas mayor pun diperbolehkan masuk. Namun, bukan hanya kelas mereka, tapi mereka pribadi juga tak luput dari pemeriksaan secara perorangan sebelum benar-benar duduk di kursi masing-masing.

Rei di barisan tengah sedikit tak nyaman ketika seorang petugas mengecek tiap jengkal seragamnya.

Ini adalah lapas berkedok kelas.

Aiza yang berada di baris paling depan telah duduk di kursi. Matanya mulai menyapu seisi ruangan. Dia nyaris tak mengenali kelasnya. Selain barisan para dosen dari berbagai perguruan tinggi di sisi kanan, mereka juga di dikelilingi oleh kamera besar berkaki yang berada hampir di tiap sudut kelas. Lensanya menembak tepat di titik ruangan seperti tengah mengambil adegan untuk sebuah film.

Setelah memastikan semua siswa kelas mayor telah masuk, salah satu dosen berdiri. Pria berkepala plontos itu menatap satu persatu dosen yang lain sebelum akan berbicara. "Baiklah. Sebelum kita mulai, saya akan menyampaikan sebuah kabar penting." Dia melirik sebentar sesuatu di mejanya. "Materi yang akan kita ujikan untuk kelas terbuka hari ini adalah ... Sejarah."

Kepala enam belas siswa di ruangan itu mengalih serentak ke sumber suara. Wajah mereka diselimuti keganjilan detik itu juga. Tentu ini hal yang sangat mengejutkan, sebab materi yang diujikan telah disepakati beberapa minggu yang lalu, yaitu Fisika.

Satu tangan Aiza spontan terangkat.

"Maaf, Nak. Saya belum selesai."

Sialan! batin Suwadi meronta. Jika tidak ada kamera di ruangan itu, maka ia tak ragu-ragu untuk menerjang kaki meja di depannya.

Pria setengah baya itu lanjut bicara, "Terkait mata pelajaran yang diubah, kami, para guru dan juga pihak sekolah SMA Noesantara sudah membahasnya. Hal ini terjadi karena ada beberapa tanggapan yang beredar. Tentu kami dari pihak perguruan tinggi telah mengakui bagaimana kemampuan kelas mayor selama ini. Namun, rasanya ada sesuatu yang kurang. Meski kelas mayor berada di gedung yang sama dengan jurusan IPA, tapi nyatanya kelas mayor bukanlah kelas IPA dengan title mayor. Kelas ini bersifat ensiklopedis, yang mana tidak terikat dengan satu disiplin ilmu.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang