32 || Pengakuan

140 24 4
                                    

Keempat orang itu berusaha berjalan cepat melewati tiap belokan. Sammy terus memeriksa lokasi yang dibagikan Zahi agar tetap di jalur yang benar. Meskipun perumahan tua itu berada tepat di sebelah SMA Noesantara, tapi mereka tak sering berkunjung ke sana. Terakhir kali ketika mengejar Erick.

Aiza beberapa kali terlihat jelas menahan gondok sepanjang jalan dengan kelakuan Zahi pagi ini. Seharusnya mereka sekarang masih di sekolah dan merencanakan sesuatu untuk menemukan gadis pembuat teror itu, bukannya malah mengunjungi kompleks perumahan tua. Akan tetapi, mereka selalu melakukan semuanya bersama-sama sejauh ini, jadi tidak mungkin mereka menolak membantunya.

Setelah berbelok memasuki salah satu simpang, akhirnya mereka menemukan keberadaan Zahi. Dia sedang duduk-seperti kelelahan-di anak tangga sebuah rumah.

Zahi mendongak sesaat mereka tiba. "Kalian datang tepat waktu. Ini rumah terakhir."

Aiza melipat tangan di dada. Dia tahu betul jenis kalimat ironi yang keluar dari mulut Zahi. "Kita bahkan tak pernah membicarakan ini. Tiba-tiba saja kau berkata bahwa kau di sini dan sedang mencari kebenaran tentang surat perjanjian itu."

"Aku pernah bilang aku butuh bantuan." Zahi akhirnya bangkit.

"Tapi kubilang tunggu sampai kita berhasil menemukan gadis itu."

"Aku tak bisa menunggu selama itu," bantah Zahi. "Ditambah lagi kita belum mendapat banyak petunjuk tentang dia. Aku tidak yakin kita akan menemukannya dalam waktu cepat."

Merasa situasi akan parah, Fath segera berdiri di antara keduanya untuk membuat batas. "Kita sudah sampai di sini, jadi mari kita lakukan dengan cepat."

Fath pun menaiki tangga pendek itu untuk mencapai teras rumah. "Apa kendalamu saat mendatangi rumah-rumah di sini?"

"Kebanyakan dari mereka sudah pikun dan pendengarannya terganggu," jawab Zahi.

Fath seketika urung mengetuk pintu. "Oke, kalau begitu kau duluan," usulnya dan kembali mundur.

"Karena hampir semua yang tinggal di sini sudah lanjut usia, agak sulit mendapat informasi lebih," terang Zahi yang mulai mengetuk pintu kayu itu.

Pintu langsung dibuka hanya dengan beberapa kali ketukan. Menampakkan seorang perempuan tua agak pendek dengan baju terusan putih bermotif bunga. Dia sedikit merapikan rambutnya yang disanggul rendah lalu tersenyum hangat menyambut mereka.

"Maaf mengganggu, Nek," ucap Zahi.

"Tidak apa." Nenek itu kembali tersenyum seraya melirik rombongan di belakang Zahi. "Ada yang bisa Nenek bantu untuk kalian?"

Zahi segera menunjukkan surat perjanjian itu kepada Nenek tersebut. Namun, Nenek itu tidak dapat melihat tulisan surat itu dengan jelas, sehingga dia masuk sebentar untuk mengambil kacamata.

Tiga orang di bawah masih belum naik ke teras rumah. Berpikir jika tugas menanyakan ini tidak akan lama. Akan tetapi, takdir berkata lain. Sammy menadah tangannya ke udara merasakan titik air mulai jatuh bersamaan dengan tiupan angin.

Nenek yang baru saja keluar ikut memandang ke langit. Setelah memperkirakan hujan akan lebat, dia menawarkan mereka untuk masuk ke rumahnya. Kelimanya pun tak punya pilihan lain daripada harus basah kuyup di luar.

Mereka diarahkan untuk duduk di kursi yang berada di ruang tengah, sementara Nenek itu permisi untuk mengambil minuman di dapur. Jia sudah mencoba menolak karena tak enak hati, tapi Nenek itu terus saja memaksa.

Zahi melirik gadis berkerudung coklat muda di seberang meja. Semakin hari, ia semakin mudah membaca raut wajah jengkel milik Aiza. "Awalnya aku juga tak ingin melibatkan kalian, tapi kurasa akan lebih mudah jika kalian membantuku. Dan tentang kita yang sekarang berada di sini, benar-benar di luar prediksiku."

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang