08 || Taman Kota

231 40 1
                                    


Pagi itu Aiza dipanggil Pak Ezra ke ruangannya. Perasaannya agak waswas ketika mengetahui bukan hanya dia yang ada di sana. Di dalam, sudah ada dua orang berkemeja serasi tengah duduk di sofa dan menatapnya.

"Kenalkan, ini Freya dan Aji," kata kepala sekolah setelah Aiza duduk berseberangan dengan keduanya. "Mereka alumni sekolah ini empat tahun yang lalu."

Aiza tersenyum tipis, "Aiza," sahutnya memperkenalkan diri.

Salah satu dari mereka mengangkat dagu sambil berseru. "Pantas wajahnya tidak asing. Ternyata ini consema ke-7."

Leher Aiza menekuk mendengarnya. Terkadang ia merasa biasa saja-tidak se-terkenal itu-dibanding ketua club, kapten basket atau mungkin ketua osis di SMA Noesantara.

"Jadi, mereka berdua ini adalah mahasiswa PKL di salah satu stasiun televisi," lanjut Pak Ezra. "Mereka meminta izin untuk meliput program kelas terbuka di kelas mayor sebagai tugas PKL mereka."

Aiza mengangguk ragu lalu melirik sekilas ke Pak Ezra. Seharusnya itu bukan masalah. Mereka hanya mengambil gambar. Bagaimanapun Aiza menepis pikiran negatifnya, nyatanya dia telah merenungi berbagai dampak buruk jauh ke depan.

"Maaf, sebelumnya, Pak. Bukankah bapak selalu ingin membatasi awak media dengan sekolah kita?"

Pak Ezra mengangguk. "Tapi untuk yang ini sepertinya tidak apa-apa. Mereka alumni sekolah ini. Jadi, Bapak percaya mereka akan menampilkan hal yang baik tentang sekolah kita."

Aji menyambar dengan senyum tiga jari. "Benar sekali, Pak. Kami janji akan melakukan yang terbaik."

Pak Ezra bangkit lalu menuju ke sebuah lemari untuk mencari sesuatu. Sementara Aiza masih diam seperti tengah menimbang-nimbang.

"Sebenarnya aku dan Aji juga sempat meliput kejadian akhir tahun lalu," ungkap Freya. "Sepertinya itu memang hanya sebuah kasus bunuh diri."

Aiza menggaruk keningnya. "Ya, mungkin saja."

"Menurutku, puncak kasus perundungan terjadi sejak zaman kami. Karena cukup banyak siswa yang pindah sekolah karena tak tahan di-bully. Syukurnya kejadian itu tak berlangsung lama. Sejak Giana menjadi consema ketiga, sekolah mulai membaik. Kami hampir tidak mendengar kasus-kasus baru lagi waktu itu." Freya memandang Aiza di sisi kursi. "Dan sepertinya, sekarang kejadian itu terulang kembali."

Awalnya Aiza begitu menyimak kata-kata Freya dan sesekali mengangguk perlahan. Namun, seketika ia menjadi tidak percaya diri kala mengingat Giana. Meski tidak merasakan era itu, tapi ia yakin Giana memang consema terbaik hingga kini. Tidak sepertinya, Aiza justru tidak yakin ia bisa menyelesaikan ini sendirian.

"Tidak apa-apa, Aiza. Semua hal buruk yang terjadi di sekolah bukanlah kesalahan consema," tambah Freya. "Itulah yang Giana pernah katakan."

Kata-kata itu tidak cukup membantu. Kini ia hanya diam menatap sepatunya, berpikir hal apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tak menunggu lama, kepala sekolah memberikan selembar surat izin yang telah berstempel kepada Freya dan Aji. Selepas menerimanya, mereka pun pamit undur diri untuk melakukan tugas lain. Aiza pikir semuanya sudah berakhir hingga ia mengekori mereka dari belakang untuk keluar. Namun, pak Ezra menyetop jalannya dengan sopan. Aiza tahu ini akan terjadi.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang